DALAM musik pop kita, kita mengenal ada beberapa lagu pop yang bertemakan tentang " ayah ". Ayah, dalam Bahasa Jawa, berarti " Rama " atau " bapak " kalau dalam Bahasa Indonesia. Cuma dalam budaya Jawa, sebutan " rama " itu boleh dibilang untuk status sosial rendah, sedang bagi kalangan masyarakat dengan status sosial menengah keatas, panggilannya adalah " bapak ". Pasangan rama adalah " biyung ", sedang pasangannya bapak adalah ibu.
Tapi, karena adanya pengaruh dinamika sosial, mulai terjadi sedikit perubahan, dimana panggilan " rama " sudah banyak berkurang, banyak yang beralih ke bapak , namun lucunya bukan disandingkan dengan panggilan ibu,melainkan " emak "atau " mamak ". Jadi sebutan " biyung " pun berkurang, tapi untuk berganti ke " ibu " agaknya masih terlalu tinggi. Sisi lain panggila " rama " yang masih bertahan namun eklusif, yaitu untuk menghormati tokoh atau guru spiritual, missal " Rama Kyai ", atau pastur kadang juga disebut rama. Seperti Rama Mangun Wijaya, budayawan dari Yogyakarta dulu.
MPL = Musik Pelepas Lelah
PERTENGAHAN tahun 70-an,yaitu sekitar tahun 75-76, suasana di desa benar-benar masih " virgin ", ndesa banget. Listrik belum ada. Radio hanya satu dua yang punya. Tape recorder, lebih sedkit lagi yang punya. Televisi boleh dibilang nihil. Sehingga, satu-satunya akses hiburan bagi kebanyakan orang desa , adalah radio walauoun jarang. Maka fenomena dengerin radio keroyokan rame-rame bukanlah hala neh saat itu. Tapi malah asyik pol !
Kebetulan orang tuaku termasuk yang punya radio. Kebanyakan radio yang dimiliki oleh orang-orang desa waktu itu adalah merek Tjawang ( bacanya Cawang , ejaan lama ). Apakah ada merek radio selainnya, saat itu aku tidak tahu. Dan Tjawang itu nama apa sebenarnya juga tidak tahu, apakah nama pabriknya atau nama apa. Dalam Bahasa Jawa, tjawang ( cawang ) artinya cabang
Nah, salah satu acara yang cukup popular kala itu adalah MPL; Musik Pelepas Lelah. Musik openingnya juga bagus banget dan khas. Aku tahu acara itu ya karena kakak kakaku terbiasa mendengarkan acara itu, aku ikut nguping. Acara musik itu disiarkan siang hari, sehabis dhuhur, saat istirahat siang selepas orang bekerja. Bila malam, sehabis maghrib, radio dipegang ayahku, sampai malam. Kadang ada tetangga yang ikut nebeng. Jadi asyik ada selingan teman duduk untuk ngobrol.
Acar MPL ini disiarkan oleh RRI Pusat atau Jakarta. Aku ingat benar, pembawa acaranya adalah Kak Hasan As-ari oramahi dan kak Sasli Rais ( keduanya kemudian juga jadi pembaca berita di TVRi untuk acara Dunia Dalam Berita ). Oh ya,penyiar radio kala itu umumnya panggilannya adalah Kak. Kedengaran lebih akrab memang.
Nah, diacara MPL itulah aku banyak mengenal lagu-lagu pop kala itu. Dan lagu yang paling ku suka saat itu adalah lagu " Ayah " dari Koes Plus. Waktu itu group musik Koes Plus kan lagi ngetop-ngetopnya. Lagu-lagunya easy listening. Dan lagu " Ayah " ini waktu itu juga sering diputar diacara MPL tersebut. Oh ya, waktu itu para pendengar radio, bisa minta lagu atau kirim lagu melalui kaartu pos. Nah , bisa kebayangkan berapa lama harus menunggu dibatas waktu yang tak tertentu; kapan akan dibaca ? Dan kalau kebaca atau mengudara, wow .... seneng banget! Viral kalau jaman sekarang,
Lagu Ayah
Lagu Ayah ini, partama aku dengar atau aku temukan ya di acar MPL itu tadi, saat itu aku masih kelas V SD, berarti tahun 76. Lirik lagunya sederhana; ungkapan rasa hormat pada orang tua ; " ayah .... betapa kuagungkan/betapa kuharapkan ", juga ungkapan rasa kekaguman yang mengharukan; " ayah ..... rambutmu tlah memutih/cermin suka dan sedih " dan juga rasa saying terasa kehilangan; " ayah .... Waktu terus belalu / sampai ke anak cucu "
Lagu tersebut diciptakan oleh sang pemimpin group, Tony Kuswoyo. Musik pengiringnya terkesan ringan dengan petikan dentingan lead gitar yang dominan. Kesannya lagu seperti menari-nari diatas riak-riak gelombang kecil musik pengitingnya, dan " cita rasa music " Koes Plusnya tetap kuat terasa. Lagu ini juga dibawakan kembali secara apik oleh Neo Jibles seperti biasa. Adapun lirik lengkapnya adalah sebagai berikut ;