Lihat ke Halaman Asli

Ruminto

Back to Nature

Karena Dunia Tak Selebar Daun Kelor

Diperbarui: 31 Juli 2023   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar daun kelor ( sumber: foto doc. pribadi )

Adanya fenomena tentang ramainya orang-orang WNI yang bermigrasi menjadi WNS, jadi teringat akan peribahasa lama; " Dunia tak  selebar daun kelor ". Walaupun itu sebenarnya arti majas atau kiasan, dimana yang dimaksud adalah agar tidak terpaku pada satu hal saja ketika terjadi dead lock atau jalan buntu atau kegagalan, tapi lihatlah atau carilah  alternatif yang lain, karena sesungguhnya dunia ( kehidupan ) itu luas, tak selebar daun kelor ibaratnya.

     Namun demikian, dari arti majas  bisa pula diartikan yang sebenarnya, walaupun peribahasa itu muncul disaat manusia belum bisa " menggenggam " besarnya bola dunia, tapi manusia sudah menyadari adanya tempat yang luas yang bisa dijelajahi atau dieksplor. Dan terlebih untuk masa sekarang ini, disaat bulatnya bumi sudah dalam genggaman tangan manusia, apa yang mustahil untuk bisa " blusukan : kemana saja, terlebih lagi ke Singapura ada di depan mata kita Indonesia. Berpindah kesana dan menjadi warga negaranya, bukan hanya cerita belaka.

Rumput Tetanggan Memang Lebih Hijau

Secara administratif, pindah kewarganegaraan ( kemana saja ) tentu tidak mudah. Tapi mengapa ini bisa begitu mudah, sehingga banyak warga negara Indonesia pindah ke Singapura dan menjadi warganya ? Padahal kita tahu, Singapura bukanlah negeri " well come " banget , Singapura negeri yang tertib hukumnya sangat tinggi. Dari segi wilayah, negeri Singapura juga benar-benar " selebar daun kelor ", tapi mengapa seakan melawan " takdir alam "  sebegitu " baik hatinya " ( untuk tidak mengatakan sebegitu tulusnya ) menerima orang luar jadi warganya ? . Mengapa ?

     Yang pertama, barangkalai pemerintah Singapura jumput bola. Pemerintah Singapura " menjual diri "dengan diskon yang melambai tapi hanya untuk pangsa pasar yang eklusif saja. Yaitu hanya kaum cerdik pandai saja yang punya " kartu kredit " untuk membelinya. Sehingga bagi negara kita Indonesia, serasa ditodong atau dipaksa untuk membelinya tapi dengan harga yang mahal. Sehingga di dunia maya sempat ada chanel you tube yang membongkar " kelicikan " itu. Dan komentar-komentar miringpun baik yang pro maupun yang kontra pun  tak terhindar.

     Yang kedua adalah karena impian. Bagi sebagian kelompok orang, Singapura adalah negeri impian. Singapura adalah gambaran sebuah negeri kecil yang makmur. Singapura adalah negeri kecil yang ideal. Singapura adalah negeri kecil yang perfec dan smart. Bagi mereka yang berpikir progresif dengan stressing pada kareir, singapura adalah " kantor "-nya yang sreg dihati. Jadi rumput di Singapura memang hijau. Angin bertiup kearah tenggara , sehingga terlihat dari sini rumput di Singapura nan hijau melambai merayu -- rayu.

     Yang ketiga, alasannya sangat bersifat pribadi sekali. Pada yang kedua, walaupun juga bersifat subyektif pribadi, namun konteks obyektifnya masih mengena. Sedangkan alasan yang ketiga ini murni sangat pribadi. Pertanyaan yang paling mendasar, sebenarnya siapakah mereka itu yang rela bertukar warga ke Singapura ? Kalau orang pribumi asli, yang tidak ada hubungan emosi apapun, yang tidak ada benang merah sesamar apapun, biarpun di iming -- imingi segudang uang emas ibaratnya , tak akanlah dilepas begitu spontan kewarganegaraaanya. Dengan kata lain, secuilpun dia tidak akan pernah bermimpi berganti rupa menjadi warga negara Singapura, karena  a h i s t o r i s.

     Yang pindah jadi warga negara Singapura pastilah mereka sudah punya hubungan emosional sebelumnya. Misalnya benang merah persamaan etnis mayoritas di Singapura, etnis China. Ma'af kalau kedengarannya ini berbau rasis. Tapi fakta tidak bisa di ingkari. Dan secara jujur pula penulis juga ungkapkan, bahwa diantara etnis keturunan tadi yang loyalitasnya pada negeri Indonesiaini  juga banyak. Jadi kami juga tidak menggeneralisasikannya..

     Dengan demikian, fenomena ramainya WNI pindah WNS disikapi dengan " slow " saja, sebab peribahasa kuno sudah memberi pandangan  dengan realistis; karena memang  " Dunia tak selebar daun kelor ".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline