Hai. Saya masih kuliah semester 6 jurusan pendidikan bahasa Inggris. Tapi nggak hanya kuliah, saya juga nyambi kerja. Saya kini menjadi guru bahasa Inggris di salah satu instansi kursus bahasa di Jogja. Kalau diingat-ingat, nggak percaya juga sekarang saya berkonsentrasi dalam dunia bahasa Inggris, bahkan sampai mengajar pula.
Saya ingat saat pertama kali 'dikirim' ke kursusan bahasa Inggris oleh orang tua saya ketika saya masih duduk di bangku SD kelas 1. Waktu itu bisa dibilang saya adalah murid terbodoh. Saya nggak bisa nulis red, selalu saya tulis ret, blue menjadi blu, black berubah jadi blek, dan yah begitulah. Huruf alfabet juga begitu, saya nggak kunjung hafal. Kadang buat mengingatnya, saya perlu nyanyi dulu dalam hati. Iya, nyanyi abc song, tau kan? ei bi si di i ef ji, dst. jadi butuh waktu lama bagi saya untuk tahu kalau huruf H dalam bahasa Inggris itu dibaca eich. Belum lagi vocabs yang kudu banget saya kuasai di luar kepala, aduuh itu bagai neraka sekali. Saya malah bingung, kok bisa teman-teman kursus saya mengikuti pelajaran dengan mudahnya. Guru kursus saya waktu itu, pun mengenal saya sebagai salah satu murid paling stupid di kelas. Itu benar adanya. Saya sering sekali jadi iri dengki kalau (saya merasa) guru saya mendiskreditkan saya dengan cara, yah, memuji-muji si pintar. Setiap saya tatap wajahnya, semacam ada tulisan di dahinya yang berbunyi, "dasar, bodoh!" yang ditujukan ke saya. Setiap kursus, yang saya rasakan hanya tekanan dan tekanan. Frustasi. Saya bingung kenapa saya harus berada di tempat yang, aih, menyiksa.
Singkat cerita, ketika saya beranjak besar, saya mulai bisa memahami sedikit demi sedikit konsep rumusan dalam bahasa Inggris. Bahkan, saya mulai menyukainya. Di SMA, beberapa teman dekat saya memberikan pengakuan de facto atas kemampuan bahasa Inggris saya. Yippieee.
Tapi, oh tunggu dulu! Masih ada satu lagi pil pahit yang harus saya telan. Dengan pengakuan dari teman dekat atas kemampuan bahasa Inggris saya, saya jadi bak terbang ke langit ke tujuh. Percaya diri luar biasa kalau sudah menyangkut hal-hal yang keinggris-inggrisan. Sampai suatu ketika, di akhir masa SMA, sekolah mengadkan test TOEFL untuk seluruh siswa kelas XII. Yup, termasuk saya. Sama sekali, tidak saya dapati kesulitan yang berarti selama mengerjakan tes, tapi apa mau dikata...eng ing eeeng, skor TOEFL saya saaaaangat rendah. Saya tidak ingat persisnya, tapi jauh di bawah 400. Lemas sekali saya waktu itu.
Tapi kini, saya bahkan sudah memegang kelas TOEFL. Artinya, ya, saya mengajar TOEFL, untuk mahasiswa S1, padahal saya sendiri belum lulus S1. Alhamdulillah.
Hidup ini memang sulit ditebak, ya? Ya, begitulah. betul juga kata iklan lawas yang bilang kalau gagal itu adalah sukses yang tertunda, soalnya saya sendiri yang membuktikannya, hehe. Sekarang, setiap kali saya menemui kegagalan dalam hidup, saya bisa meyakinkan diri saya sendiri kalau di balik kegagalan itu, saya akan menuai kesuksesan lain. Sejarah berbicara, hehe. Jadi, lebih baik kita sibuk memperbaiki diri daripada sibuk meratapi kegagalan. Emang sih kadang suka jadi down banget kalau udah ketemu yang namanya gagal. Merasa paling stupid sedunia. Merasa pingin mati, aih lebay, hehe. Tapi dibalik itu semua, hal terpentingnya adalah b-a-n-g-k-i-t. Ayo bangkit, buktikan pada dunia kalau kita bisa! Saya bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H