Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara terus menyisakan berbagai permasalahan pelik bagi kelestarian lingkungan dan sosial di berbagai wilayah tanah air. Terdapat tren pengurangan batu bara di berbagai negara imbas polusi dan komitmen menuju pada Net Zero 2050. PLTU mempunyai dampak lingkungan yang signifikan karena tingginya tingkat emisi sebagai sumber energi listrik. Debu yang dihasilkan saat PLTU terbakar bukanlah debu biasa. Fly ash dan bottom ash, yang secara kolektif disebut FABA, merupakan dua jenis limbah yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Emisi udara hasil pembakaran batu bara mengandung zat pencemar seperti debu dan gas (NO2, CO, CO2, dan SO2) yang dapat merugikan lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar kawasan industri.
Dampak Perluasan PLTU Batu bara
Jika ditelusuri kembali ke masa awal penambangan batu bara, kerusakan lingkungan yang masif tidak hanya berdampak pada ekosistem lokal dan struktur lapisan bumi, seperti deforestasi, namun mempengaruhi ruang hidup masyarakat yang tinggal di sekitar tambang. Konstruksi PLTU sendiri membutuhkan lahan yang cukup luas dan seringkali merambah ke kawasan hutan, lahan pertanian, dan pemukiman warga, termasuk warga Desa Mekarsari, Indramayu. Meski belum dibangun, dampak proyek perluasan PLTU Indramayu II sudah dirasakan masyarakat. Misalnya konversi lahan pertanian yang memaksa banyak pemilik sawah di Desa Mekarsari menjual sawah produktifnya ke PLTU. Akibatnya, banyak warga desa yang sebelumnya bekerja sebagai buruh tani kehilangan pekerjaan. Beberapa kriminalisasi terhadap warga juga terjadi, ditambah dengan polusi udara dan masalah kesehatan yang dialami warga akibat aktivitas PLTU tersebut.
Rekam Jejak Perlawanan terhadap PLTU Indramayu
Sepanjang tahun 2016, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat telah menerima 26 pengaduan dari warga, yang sebagian besar pengaduan tersebut berisi tentang situasi yang melibatkan lingkungan tempat tinggal mereka. Warga memberikan informasi terkait usulan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di Indramayu yang didanai oleh Japan International Cooperation Agency (JICA). Masyarakat mendapatkan informasi ini setelah jalan akses dibangun pada Maret 2017 untuk pelaksanaan pembangunan PLTU Indramayu II. Lokasi pembangunan itu terletak di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Sebelum dilaksanakannya rencana pembangunan tersebut, PLTU Indramayu I yang berkapasitas 3x300 MW yang telah lebih dulu beroperasi telah menimbulkan sejumlah permasalahan kesehatan dan lingkungan bagi masyarakat sekitar kawasan industri pertambangan. Keberatan yang sama juga disampaikan masyarakat terhadap usulan pembangunan PLTU Indramayu II yang rencananya berkapasitas 2x1.000 MW.
Pada 17 April 2017, warga mengajukan permintaan akses informasi kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Indramayu dalam upaya mengetahui lebih jauh. Dokumen izin Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu harus diperoleh. Setelah menunggu hingga 12 Juni 2017, warga memperoleh dokumen izin tersebut dan selanjutnya mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Izin lingkungan PLTU Indramayu II akhirnya dinyatakan tidak sah oleh majelis hakim PTUN Bandung. Pada tanggal 6 Desember 2017, lisensinya dibatalkan. Namun, menyusul keberhasilan warga tersebut, pemerintah secara tidak adil menargetkan banyak penduduk setempat.
Salah satu CSO (Civil Society Organization) lokal, WALHI, menyampaikan petisi tersebut langsung ke Kedutaan Besar Jepang di Jakarta pada 12 Oktober 2018 setelah sebelumnya mengumpulkan 171 CSO dari 40 negara untuk mendukung penyetopan pendanaan tersebut. Selain itu, sehari sebelumnya, mereka bersama petani lokal dari Indramayu menyerbu kuliah terbuka di Universitas Indonesia (UI) pada tanggal 11 Oktober, dalam rangka menyampaikan keprihatinan mereka langsung kepada presiden Japan International Cooperation Agency (JICA), Mr. Shinichi Kitaoka, yang hadir di sana.
Menuju Kemenangan Masyarakat
Berkat gerakan transnasionalisme oleh beberapa CSO di Indonesia, sebuah petisi internasional yang ditandatangani oleh 188 Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) dari seluruh dunia (termasuk 26 negara) telah diserahkan kepada pemerintah Jepang pada 2018, menuntut pemerintah Jepang untuk mengambil tindakan segera atas pembebasan tanpa syarat terhadap dua petani pembela lingkungan hidup di Indonesia, yang sedang melakukan protes atas kesejahteraan dan kesehatan lingkungan tempat tinggalnya dikarenakan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara kotor yang didukung Jepang.
Sebagai respon atas kritik internasional, pemerintah Jepang akhirnya mengambil kebijakan untuk menghentikan pendanaan atau pemberian pinjaman terhadap proyek pembangunan PLTU baru ini. Keputusan ini sekaligus menguatkan komitmen Jepang terhadap kepentingan iklim. Pada tahun 2021, negara-negara G-7 juga telah bersepakat untuk mengakhiri segala bentuk bantuan baru untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang gagal menurunkan emisi dan memberi dukungan terhadap percepatan transisi energi.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menanggapi dan mengkonfirmasi bahwa PLN telah membatalkan rencana perluasan tersebut beberapa hari setelah pengumuman pembatalan pendanaan dari Jepang. Namun, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Nasional 2021-2030 (RUPTL) terbaru, tercantum status pembangunan PLTU Indramayu II itu dinyatakan "ditunda karena menyesuaikan dengan kebutuhan sistem" Jawa-Bali. Sistem kelistrikan di Jawa-Madura-Bali (Jamali) saat ini memang cenderung kelebihan kapasitas (over capacity), sehingga penyetopan dana dari Jepang untuk pembangunan PLTU ini tidak begitu berdampak signifikan.
Meskipun begitu, cerita ini dapat menjadi tren positif yang menginspirasi dan menjadi peluang untuk masyarakat turut andil dalam mendesak pemerintah Indonesia menghentikan pembangunan PLTU baru dan mempercepat transisi ke energi terbarukan. Upaya warga terdampak sejak pertama kali mereka tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Indramayu (Jatayu) pada tahun 2015 berbuah manis dan dianggap sebagai sebuah kemenangan. Walau begitu, perjuangan mereka belum usai dan harus tetap berlanjut.