Lihat ke Halaman Asli

Maulid Kaum Tengahan

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta fak. Studi Agama & Resolusi Konflik)

Jika melihat sejarah, maka kesimpulannya tak akan banyak, hanya ada dua hipotesa: pro dan kontra. Sekali lagi, PRO dam KONTRA. Tulisan ini tak lebih hanya mengulas kembali argument para ulama dan cendekiawan yang telah berelaborasi dengan kapasitas beliau-beliau dalam bidang masing-masing pada jamannya, dan sedikit tambahan opini dari pengetahuan saya yang dangkal. Toh, kebenaran hanya milik Allah. Dan, pengetahuan manusia adalah hal nisbi yang hanya menjadi benar di dataran ijtihadi—yang dalam makna definitifnya menyimpan arti kebenaran-tak-mutlaki. *** Sekapur sirih: Ketika ada artikel yang menganggap ‘salah’ tentang memuji-muji Rasul, saya malah teringat hadist seperti ini: “Izinkan aku memujimu, ya, Rasulallah?!” pinta sahabat Abbas Ibn Abd Al Muthallib kepada Rasulullah SAW. “Silakan, maka Allah akan menjaga bibirmu.” Tandas Rasulullah, lembut. Lantas Abbas memuji Rasul dengan perkataan-perkataan indah seperti ini: ” … dan ketika kelahiranmu, terbitlah cahaya di bumi seterang-terangnya. Langit bercahaya dengan cahayamu. Kini kami bernaungkan cahaya itu, serta diteduhi tuntunan kemuliaan kami kian mendalami.” (Mustadrak Ala Shahihain, hadist nomor 5417) Dan pula saya teringat sebuah hadist seperti ini: Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam as melakukan kesalahan, beliau berkata, ‘Ya, Tuhan. Dengan kebenaran Muhammad, aku meminta kepada-Mu pengampunan.’ Allah bertanya, ‘Hai, Adam. Bagaimana kau bisa tahu ihwal Muhammad, sedang Aku belum menciptakannya?!’ Adam menjawab, ‘Ketika dengan kuasa-Mu Kau meniupkan ruh kemudian menciptaku, kepalaku mendongak di tiang Arsy yang bertulis: Lailahaillallah Muhammadur Rasulullah, lantas aku tahu bahwa Kau tidak akan menyandarkan ke nama-Mu selain makhluk yang paling Engkau cintai.’ Allah berkata, ‘Kau benar, Adam. Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Kau telah berdoa dengan menyebut kebenaran Muhammad, maka Aku mengampunimu. Jika bukan karena Muhammad, tak akan sekalipun Aku menciptamu.’” (Hadist tersebut bisa dibaca dalam karya Imam Al Hakim yaitu al Mustadrok, juz 2, halaman 615. Juga bisa ditemukan di risalah Al Bidayah Juz 1, halaman—kalau tak salah—180, karya imam Ibn Katsir. Para imam seperti Al Haitami, Al Qushthulani, Al Bulqini, Al Thabrani, hingga Ibn Al Juzie menisbatkan title sahih pada sanad hadist tersebut. Memang ada yang menganggap lain, tapi untuk pembahasan siapa seharusnya yang dipilih benarnya, anggaplah itu masuk kapasitas ahli hadist yang tak terlalu perlu kita bahas di sini.) --secara tidak langsung pasti pembaca akan paham maksud saya memaparkan hadist di atas untuk pembuka pertama kalinya-- *** Latar Belakang Masalah: Berikut saya kutipkan natijah artikel dari yang kontra, yang seperti ini: “Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu’alahi wa sallam. Demikian juga dengan cara perayaan maulid Nabi Shallallahu’alahi wa sallam, perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.” Intinya, praktek yang telah mengakar dalam tubuh umat nahdliyin dari dulu hingga sekarang sungguh bid’ah banget, kurafat, dan pelanggaran. Jadi wujud cinta mereka adalah palsu, dan salah. (ini hipotesa saya sendiri, entah menurut Anda sekalian?). Pula ketika mendengar istilah Ghuluw, dalam artikel terebut saya malah teringat perkataan Muhammad Ibn Abd Al Wahab (para pembaca pasti mafhum betul siapa beliau itu) yang menganggap “sesat” bagi orang yang percaya akan syafaat. Maksudnya sangat bagus, taruhlah agar tidak ada praktek pengkultusan kepada Rasulullah SAW. seperti yang dilakukan kaum Nasrani atas Jesus, Yahudi atas Uzaer, atau kaum yang lain atas para Malaikat. *** Pembahasan: Blok pro sekaligus pihak yang kontra pasti akan sependapat dengan saya bahwa perayaan mauled tak pernah diadakan di masa Rasulullah SAW. Sekaligus kita juga akan diberi gambaran mengenai sejarah terkait asal mula mauludan dimulai. Mungkin Syekhul Al Azhar Syaikh Athiyah Shaqr benar, ketika beliau ditanya tentang sejarah mauludan, beliau berkata: “Tak ada sejarawan yang mengetahui adanya seseorang yang merayakan mauled sebelum dinasti Fatimiah.” Nah, memang sejarah membenarkan adanya permulaan mauled di dinasti Fatimiah. Akan tetapi jika mengingat rentetan sejarah mauludan, taruhlah kita akan terbawa pada kisah perang salib yang dicantumkan nama Sultan Salahuddin Al Ayyubi pada tahun (kalau tak salah, dan mohon koreksi jika saya lupa) 579 H., dan bertepatan tahun 1184 M. (Saya masih ingat betul, dari literature sejarah yang pernah kami kaji, dengan semangat persatuan yang berhasil dihimpunnya, pasukan Saladin mampu menguasai Jerussalem dari tangan Eropa pada tahun 583 H., atau bertepatan pada tahun 1187 M.) Ubahlah awal mula mauled berasal dari dinasti Fathimiah, yang setelah tumbang dan diganti dinasti Ayyubiah perayaan mauled masuk fase vakum dan selanjutnya tergelar kembali. Sekarang kita mengisahkan sejarah: Tahun itu dituliskan sejarah dengan angka 1099 M., ketika Jerussalem dikuasai batalyon dari Eropa. Masjid agung Al Aqsha diubah menjadi gereja. Semangat kristiani berhasil menyiutkan epos jihad kaum muslimin di alam raya. Semarak salib berdendang dan menggema. Berbagai tempat digemakan mars dan puji-pujian tentang kebesaran agama mereka. Natal, paskah, dan lain-lain, kian menciutkan nyali. Orang bilang: hidup segan, mati tak mau! Di salah salah tempat, terdapatlah sedikit koloni muslim yang mempunyai rutinitas prosesi semacam puji-pujian kepada Rasulullah SAW. Awal dari situlah dimulai sejarah. Untuk mengimbangi perayaan Natal oleh umat kristiani. Asumsinya sederhana, kebersamaan dan implikasinya. Meski diawali dari sekumpulan yang sedikit, lambat laun imbasnya melegenda. Maka, Sultan Salahuddin Al Ayyubi pada waktu itu menyelenggarakan sayembara kepada sekalian umat muslim berupa penulisan riwayat terbaik dari pribadi mulia utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sejarah dimulai ketika Sultan Salahudin (Pada waktu itu Sultan Saladin adalah penguasa Dua Kota Suci—Makka, dan Medina) atas gagasan adik ipar beliau yang bernama Muzaffaruddin Gekburi (seorang Atabeg di daerah Irbil, Syria Utara), meminta ijin kepada Khalifah Al Nasheer, di Baghdad, agar diberi kewenangan memberikan intruksi kepada umat islam (yang sedang berhaji) pada waktu itu agar memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ketika kembali ke kampung masing-masing. Dikte Sang Sultan pun tak berarti tanpa ada sentilan. Para ulama sekitar Sultan memberikan kritik. Kita hanya merayakan dua hal; Idul Fithri dan Idul Adha, kata mereka. Karena mengetahui, angkatan terbaik adalah sahabat, dan pada waktu itu tak ada adat Mauludan di masa sahabat. Dan jikalau perayaan hari kelahiran Rasul adalah hal baik, pasti masa sahabat dan salafus shalih adalah lebih pantas meng-adatkannya. “Aku hanya mengharap terbentangnya syiar Islam. Bukan hanya sekadar perayaan yang bersifat ritual belaka, tapi lebih. Lebih karena mencintai Rasulullah, dan lebih karena ingin menumbuhkan semangat juang.” kata beliau Salahuddin Al Ayyubi. Maka, terbentanglah sayembara, dan jadilah nama Syekh Ja’far Al Barzanjie sebagai pemenang sayembara penulisan riwayat Rasulullah yang digelar Sultan Salahuddin dengan tata kata yang indah, yang karya beliau dijadikan bacaan kaum muslimin waktu itu untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ketika masa genting perang salib, dan masih terlantun di lisan-lisan warga Nahdliyin di masa sekarang yang tentram dan tak berjibaku. Dan konon, atas latar belakang inilah batalyon Eropa berhasil ditumbangkan Salahuddin Al Ayyubi. Menurut kami, hal baru, yang tidak ada dalam masa Rasulullah para pendahulu, tidak serta merta langsung di-justifikasi sebagai bid’ah sesat. Ibn Taimia pernah berkata, ‘seorang muslim yang melaksanakan perayaan maulud dengan niat yang tulus dan atas dasar cinta kepada Nabi SAW, maka akan mendapat pahala, akan tetapi bukan karena bid’ahnya.’ Cukuplah fatwa beliau sebagai dasar kebolehannya. Tak perlu menyebut terlalu banyak referensi tentang beberapa jenis bid’ah, yang pasti, untuk meringkas kata, kita sebut saja nama risalah Fath Al Bari juz 11, Syarh Imam Nawawi Ala Shahih Moslem Juz 12 hal. 93, Shahih Moslem hadist no. 1017, Al Mawahib Al Ladunia juz 1 hal 148, yang menerangkan sebuah kesimpulan: husnul maqasid fi amal al mauled, kebaikan maksud dalam ritual mauled. Dan sepertinya perkataan Imam Al Hafidz Syamsuddien Ibn Nasheeruddien al Dimisyqie akan menutup paper eksklusif ini: “salah satu bid’ah hasanah adalah peringatan mauled di hari mauled.” Ada ucapan baik yang saya senangi dari kata Syekh Al Qardlawi: “Dalam kehidupan selalu ada prioritas, dan hal ini adalah kebutuhan yang niscaya. Pun dalam islam.” Begitu kata beliau. Mungkin Qardlawi benar, Agaknya perayaan maulud hanya hegemoni atau anomaly yang berlebihan di masa-masa sekarang. Itu jika dikaitkan dengan keprihatinan beliau melihat kaum yang masih belum seimbang dengan perayaan yang megah-megahan. Akan tetapi, tetap, beliau tak mengingkari ‘menyambut hari kelahiran Rasulullah’ adalah kebaikan yang berpahala. Meski, beliau tak begitu senang ketika umat lebih mementingkan hal yang sunnah daripada yang wajib, karena ada prioritas lain yang lebih signifikan dibahas daripada menghabiskan uang untuk sekadar perayaan. Menyantuni anak yatim, misalnya. Toh hal itu menjadi tuntutan. (Versi terjemahan buku beliau berjudul Fiqh Prioritas. Dalam bab Prioritas Wajib Atas Sunnah.) Saya, bisa dibilang, adalah nahdliyin. Dari kecil tak pernah asing dengan yang namanya mauludan, tahlilan, dan barzanjie. Sebagai makhluk social, bermasyarakat, dan hidup di lingkungan yang majemuk, saya akan selalu menghormati pendapat seberang yang mengatakan hal tak senada dengan pendapat saya. *** Kesimpulan: Puncaknya, karena saya nahdliyin, ketika saya ditanya seseorang: “Kenapa Anda ber-maulid, padahal hal itu sesat menurut anggap saya?!” Maka saya jawab: “Saya rela jika di suatu hari nanti dijebloskan ke neraka dikarenakan selalu memuji ribuan kali seseorang--Nabi SAW--yang sangat saya cintai, seseorang yang diberitakan Quran sebagai pembawa rahmat sekalian alam ini, dan seseorang yang disebutkan Allah dengan penyebutan tersendiri.” Waakhiru da’wana anil hamdulillahi rabbil ‘alamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline