Lihat ke Halaman Asli

Untuk Anda yang Menggugat Sutradara film “?” (Tanda Tanya)

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sabtu, 23 April 2011 saat para remaja bahkan orang tua yang tengah gegap gempita di Sentul International Convention Center menyaksikan aksi Justin Beiber, saya dan suami memilih untuk duduk di depan tv menyaksikan “TOKOH”-nya TV ONE. Kebetulan kali ini Alfito Dinova mewawancari Hanung Bramantyo, sutradara kawakan yang sedang di ributkan film teranyarnya yang berjudul “?” (Tanda Tanya) oleh sebagian umat muslim. Kenapa sebagian, karena saya yakin tidak semua umat muslim di Indonesia care dengan perkembangan film nasional terlebih yang bergenre Islami.

Saat mendengar satu demi satu jawaban yang di ungkapkan Hanung atas pertanyaan Alfinto, saya tiba-tiba teringat satu artikel yang sempat saya baca pada suatu malam tepat setelah menonton film “?” (tanda tanya). Inti dari artikel itu yakni yang sekarang jadi sorotan media akan keberlangsungan film Hanung di bioskop. Tentang film “?” (tanda tanya) yang katanya pelecehan sistematis terhadap Islam.

Saya kaget saat membaca siapa penulisnya, ia adalah penulis idola saya yang telah menelurkan buku Agar Bidadari Cemburu Padamu, Palestina Never Die, dan banyak lagi buku berbobot lainnya yang sengaja saya beli saat zaman sekolah dulu dengan mencicil alias kridit. Mengingat Salim. A.Fillah adalah penulis yang banyak menginvestasikan hal-hal berbau Islami di kepala saya, rasanya ketika membaca artikelnya saya ingin menyetujui dengan segera. Namun kemudian sisi hati saya berontak, setelah melihat film itu bahkan saya terpacu untuk lebih toleran dengan lingkungan saya yang mayoritas di penuhi dengan kaum chinese yang sudah jelas agamanya bukan Islam.

Sebelum menonton film “?” (tanda tanya) saya memang agak risih saat orang tua saya menyuruh saya untuk tinggal di Jl.Sawah lio II Kelurahan Jembatan 5 yang notabene penghuninya bermata sipit. Apalagi saya harus menunggu rumah yang dijadikan kost-kostan. Saya ingat betul sebelum saya menonton film “?” (tanda tanya) saya sempat setengah mengusir penghuni salah satu kamar kost yang beragama katolik. Awalnya walau bermata sipit,saya tak yakin dia berbeda agama dengan saya, namun saat memergoki nya keluar dari kamar mandi saya shock bukan kepalangketika menemukan tato bergambar salib di lengan kanannya. Panik, tentu saja. Saya risih saat itu jika seseorang yang berbeda keyakinannya tinggal di rumah saya. Atas dukungan suami, akhirnya saya setengah mengusirnya dengan berkata, “Kamarnya mau dipakai keluarga saya, jadi bapak dan keluarga cari tempat tinggal yang lain aja.”

Andai saat itu saya sudah menonton film “?” (tanda tanya) mungkin tak akan saya lakukan tindakan bodoh seperti itu. Toh selagi dia tak mengganggu aqidah saya, kenapa harus pusing. Kemudian saya pun teringat kawan suami saya yang bernama Denis Andreas di TMB IPB yang sempat mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Saat itu dia baru saja menjadi mualaf dan tinggal di Amerika dengan keluarga yang beragama katolik. Sepulangnya dari sana, Denis bahkan menjadi lebih hanif.

Kemudian saya juga teringat dengan Paman saya yang tak kunjung mendapat pekerjaan kemudian ditawari kawannya untuk menjadi seorang supir di keluarga Batak yang beragama Katolik. Awalnya ia sempat menolak, tapi saya yakinkan untuk mencobanya. Kali ini saya sudah menonton film “?” (tanda tanya). Saya katakan pada beliau, “Dicoba saja om, mudah-mudahan om diberi kekuatan. Selagi mereka tak menyinggung agama dan membolehkan kita solat pada waktunya keanpa nggak ?” Dan benar saja, dua minggu kemudian paman saya pulang ke rumah saya dengan wajah ceria, “Alhamdulillah An, walau mereka berlainan agama, tapi om masih dikasih kesempatan untuk solat.”

Bukan, sebenarnya bukan untuk numpang curhat dan menceritakan pengalaman saya ketika saya memutuskan untuk menulis hal ini. Saya hanya ingin mengngkapkan apa yang kemudian saya rasakan setelah menonton film garapan Hanung Bramantyo itu. Jelas sah, jika saya katakan saya tak sependapat dengan mereka yang menggugat film “?” (tanda tanya) adalah film yang sesat.

Tak salah rasanya, jika saya membenarkan kata-kata Hanung yang mengatakan bahwa film ini diputar di bioskop. Ada cost lebih yang harus dikeluarkan saat menonton film ini, tentu tak sembarangan saat seseorang memutuskan untuk melihat film ini, kecuali bagi mereka yang sengaja hanya ingin menyewa bangku theaternya sekedar untuk melampiaskan “hobi” bersama partnernya. Berbeda dengan sinetron yang jika salah memberikan pemahaman Islam akan berpengaruh terhadap paradigma di masyarakat. Karena di tonton setiap hari (sinetron stripping) dan men jadi tontonan semua anggota keluarga (anak-anak termasuk kedalamnya). Seperti yang di suguhkan SCTV setahun terakhir ini yakni “Islam KTP”. Buat saya kalo anda jeli, bisa jadi sinetron ini yang membuat citra Islam di Indonesia yang sudah buruk menjadi semakin amburadul.Dengan toko-tokoh Islami nya yang tidak Islami.

Kemudian Jika masyarakat Islam di Indonesia kontra terhadap film “?” (tanda tanya) , bagi saya itu sah. Namun, saya menjadi orang yang berdiri dibarisan yang bersebrangan karena bagi saya sutradara Hanung Bramantyo sudah sangat intelek dengan menyajikan film ini. Saya katakan sutradaranya bukan filmnya. Kenapa begitu, karena memang ada bagian di film “?” (tanda tanya) ini yang kemudian bagi saya tampak bodoh. Saya ungkap satu persatu sama persis dengan yang penulis idola saya ungkapkan.

Pertama, tentang adegan pembuka yang seorang pastur ditusuk saat sedang menjamu jemaatnya. Bagi sayahal ini murni kriminal, dan saya sama sekali tidak berpikir hal itu dilakukan oleh orang Islam. Mungkin karena mayoritas masyarakat di Indonesia adalah Muslim orang akan berpendapat itu dilakukan oleh orang Islam. Lalu saya berpikir tentang motif, tidak selamanya motif pembunuhan lintas agama itu karna perbedaan agama kan ?

Lalu Suryo yang beragama muslim,berprofesi sebagai aktor, namun tidak pernah mendapatkan peran utama. Ia ditawari sahabatnya untuk mengikuti casting untuk memerankan tokoh Yesus. Dan kebetulan Suryo lolos menjadi Yesus. Namun, Suryo gundah menerima tawaran dari Rika untuk memerankan film itu. Ia kemudian minta pendapat pada ustadz yang tidak langsung menyuruhnya untuk menyanggupi, melainkan memberikan pilihan,saya lupa kata-kata ustadz itu seperti apa, tapi Hanung menjelaskan di “TOKOH”-nya TV One, kurang lebih seperti ini, “Jika kamu yakin imanmu kuat dan hanya akan berperan saja sebagai Yesus bukan untuk mengimaninya, kenapa tidak ?”. Hanung pun tak menghentikan kegundahan tokoh Suryo begitu saja, karena setelah menjadi Yesus ia divisualisasikan membaca surat Al-Ikhlas utuk menguatkan imannya.

Kemudian sosok Rika yang digambarkan murtad dalam film ini. Mungkin ini yang menjadi kekuatan mereka untuk kontra terhadap film ini. Ya, dan saya pun sama tidak sependapatnya jika agama dijadikan tempat pelarian dengan ketidak puasan akan satu hukum. Namun disini saya melihat Hanung cerdik dengan tidak memberikan alasan mengapa Rika murtad. Jika kemudian dipertontonkan secara flashback suaminya meminta kesediannya untuk di madu’. Saya pikir hal itu masih samar-samar jika harus dijadikan alasan Rika keluar dari Islam. Bahkan pertanyaan pertama yang keluar dari mulut saya yang kemudian menjadi diskusi panjang saya dengan suami adalah, “Mengapa alasan Rika murtad tidak dijelaskan ?” Saat itu suami saya menjawabnya dengan enteng, “Itu dia cerdasnya film ini, nggak ada alasan untuk keluar dari Islam. Tapi yang namanya film, kalo nggak ada konflik ya nggak bakal seru makanya Hanung sengaja nggak ngasih tau alasan keluarnya Rika dari Islam.”

Saat itu saya hanya mengangguk saja, kemudian saat mendengar jawaban Hanung atas pertanyaan Alfinto yang kurang lebih sama seperti pertanyaan saya pada suami, saya paham apa yg dimaksudkan Hanung. “Banyak di sekitar kita yang mengalami kejadian seperti itu. Sebenarnya ini seperti mozaik yang saya kumpulkan dari lingkungan saya sendiri.” Benar saja, bukan hanya Hanung kok,,saya pun menemukannya.Memang murtad bukan hal yang sepele, tapi jelas-jelas ada yang tidak bisa mempertahankan imannya di agama ini. Naudzubillahimindzalik jika itu terjadi pada saya.

Tapi Seperti yang Hanung katakan, “Saya risih jika Islam itu dikenal sebagai agama teroris, radikal dan bla-bla. Tapi inilah kenyataannya makanya saya buat film seperti ini.” Great answer! Apa yang ditampilkan Hanung dalam film ini sebenarnya potret agama Islam di Indonesia saat ini. Kemudian bukan menjadi sok munafik dengan mengatakan penggambaran Islam terlalu babak belur di film itu, bukankah seharusnya kita lebih cerdik dengan melihat ada hikmah dibalik itu semua. Harusnya setelah tahu penggambaran Islam yang katanya sebegitu buruk di film “?” (tanda tanya) kita menjadi termotivasi untuk menghilangkan citra buruk itu. Sulit memang jika berpikir terlalu kompleknya masalah agama islam di Indonesia ini, tapi apa salahnya jika mulai mencoba dari diri sendiri. Saya saja sedang mencoba untuk mendalami tagline film “?” (tanda tanya), “Masih Pentingkah Kita Berbeda ?”

Melulu, saya pro dengan Hanung dalam penggarapan film ini. Tapi ada satu yang menurut saya murni kecerobohan Hanung, yakni saat Soleh menemukan bom di gereja. Bagi saya tindakan Soleh yang seolah heroik itu tiba-tiba pudar dengan melihat bom kiriman yang entah darimana itu di dekapnya sampai meledak. Logika saya bilang, kenapa tidak dibuang saja ? Itu sama artinya dengan bunuh diri !

Ingat Soleh, saya jadi ingat karakternya yang dibuat keras dan frontal terhadap perbedaan. Tentu itu tidak mencerminkan seluruh umat Islam kan ? Jika dia membantai Warung makan Tan Kat Sen, karena istrinya, Menuk tak dapat libur +5 hari setelah lebaran, itu hanya mencerminkan pribadinya yang keras. Saya sungguh sangat tidak setuju jika karakter Soleh dijadikan karakter umat Islam seluruhnya. Kemudian Menuk, muslimah taat yang bekerja di rumah makan yang menyediakan babi yang jelas-jelas haram. Ini mozaik yang Hanung temukan saat makan di warung makan sekitar Glodok. Banyak pelayan berjilbab yang menunggu toko makanan yang notabenenya tidak halal, tapi majikannya masih memberi kelonggaran untuk istirahat solat pada jam 12,3 sore, dan 6 sore.

Intinya, saya sependapat dengan kalimat Hanung yang sengaja di ketik oleh editor “TOKOH” TV One, “Bila memang film ini mencampuradukan aqidah,bagaimana dengan film bergenre horor yang esek-esek ?” Nah loh...????




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline