Lihat ke Halaman Asli

Andai Gubernur Jakarta dan Pejabat Kementrian Pendidikan Mau Belajar dari Jepang

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Belajar apa? Bagaimana caranya mengurangi kemacetan.  Kepadatan kendaraan memang menjadi problem di semua kota megapolitan di dunia.  Tapi Jakarta termasuk yang paling parah, seperti yang dikutip dr Viva news di rubrik bisnis hari ini,

TIMEmenyebut Jakarta sebagai salah satu kota terpenting di Asia pada abad 21 dengan problem kemacetan yang sangat parah. Berikut daftar 10 kota megapolitan terbesar di dunia menurut majalahTIME:

1. Tokyo: 32,5 juta penduduk
2. Seoul: 20,6 juta penduduk
3.Mexico City: 20,5 juta penduduk
4. New York City: 19,8 juta penduduk
5. Mumbai: 19,2 juta penduduk
6. Jakarta: 18,9 juta penduduk

Kemacetan di Jakarta lebih parah daripada Tokyo. Padahal Tokyo penduduknya jauh lebih banyak. Tak terbayangkan bagaimana macetnya Jakarta kalau suatu saat penduduknya sepadat Tokyo.

Saya tidak tahu apakah Pak Jokowi dan Pak Ahok, orang no 1 dan mantan no 1 di Jakarta ini sudah pernah studi banding ke Jepang atau belum. Kelihatannya apa yang diberlakukan di sana belum  dipraktekkan di sini.  Walaupun usaha memperbaiki transportasi massal sudah ada, namun hasilnya belum bisa mengurai kemacetan.

Salah satu cara untuk mengurangi kemacetan adalah mengalihkan masyarakat dari kendaraan pribadi ke alat transpotasi massal atau bahkan tidak mengendarai kendaraan sama sekali alias jalan kaki.

Jalan kaki? Ah, yang bener :)

Jangan salah! Orang Jepang senang berjalan kaki  ataupun bersepeda lho. Seseorang dengan pakaian rapi, berjas dan berdasi naik sepeda itu pemandangan yang biasa.

Kenapa masyarakat Tokyo dengan senang hati tidak naik kendaraan pribadi?

Inilah berbagai alasan yang masuk akal.

1.Kondisi kereta api dan kendaraan umum nyaman dan tepat waktu.

2.Kondisi trotoar dan jalur sepeda bagus dan cukup lebar

3.Garasi dan tempat parkir mahal, walaupun harga mobil terjangkau.

4.Masyarakatnya sudah terbiasa disiplin, mau antri, tidak malas jalan kaki.

5.Ada kerjasama yang baik antara gubernur dengan kementrian yang berkaitan, antara lain Kementrian Pendidikan dan Pekerjaan Umum.

Poin 1 sampai 3 saya rasa sudah jelas. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin menguraikan poin ke 4 dan 5, khususnya kerjasama dengan Kementrian Pendidikan.  Hmm ... apa hubungannya ya?

Teman saya yang pernah tinggal cukup lama di Jepang dan menyekolahkan beberapa anak di sana bercerita. Semua sekolah negeri di Jepang memiliki kwalitas yang hampir sama bagusnya. Di tengah kota maupun di tempat yang jauh dari kota. Menariknya sekolah- sekolah ini seperti franchise restoran. Luas halaman sekolah dan fasilitasnya semua mirip.

Nah, karena semua mutunya baik, maka ketika siswa dianjurkan untuk belajar di sekolah negeri yang lokasinya dekat rumah maka masyarakat tidak keberatan.

Sebetulnya di Jakarta juga pernah dicoba dengan system rayon. Tapi sayangnya di Jakarta mutu sekolah tidak semua sama bagusnya. Sehingga siswa yang rumahnya jauh pun berbondong-bondong ke pusat kota. Melanggar aturan rayon dan menambah kemacetan.

Di Jepang, anak TK dan SD diharuskan pergi ke sekolah yg terdekat. Bagaimana dengan yang rumahnya agak jauh? Mereka dibiasakan jalan kaki sejak kecil. Tidak boleh diantar oleh ibunya, bahkan naik sepeda sekalipun. Mereka diberi jaket, seragam dan tas dengan warna yang sama.  Di pinggir jalan sepanjang rute ke sekolah beberapa orang tua siswa diberi tugas untuk mengawasi anak-anak. Mereka juga bertugas membantu anak-anak yang perlu menyeberangi jalan. Juga disediakan tempat istirahat di beberapa tempat.  Kalau hujan? Jangan khawatir, mereka dibekali dengan payung dan jas hujan. Juga dengan warna yang sama. Semuanya dipantau dan disiapkan dengan rapi.

Makanya sampai dewasa orang Jepang biasa berjalan kaki. Pemerintah juga menyediakan trotoar yang bagus, lebar dan manusiawi.

Di Jepang, siswa sampai usia 10 tahun tidak diberikan ujian ataupun ulangan pelajaran. Mereka lebih banyak belajar untuk jadi warga negara yang bermental kuat dan berakhlak yang baik. Bagaimana jadi anak yang disiplin, mau antri, tidak malas, suka membantu orang lain, suka kebersihan dan kebiasaan baik lainnya. Alangkah baiknya kalau hal ini ditiru oleh kurikulum pendidikan kita.

Mengenai berjalan kaki, saya punya pengalaman tersendiri. Saya bersama keluarga pernah tinggal di Tokyo. Kami tinggal di Meguro dekat KBRI. Suami saya berangkat kuliah naik kereta api setiap hari kerja. Untuk ke stasiun Meguro, ia harus berjalan sepanjang 1,5 km. Dan ia tidak sendiri. Berbondong-bondong orang ke stasiun kereta dengan berjalan kaki. Yang punya bayi? Berjalan sambil mendorong kereta bayi.

Semua orang berjalan dengan cepat. Tidak sambil ngobrol atau guyon. Pernah suatu saat saya sedang berjalan menuju stasiun.  Di depan saya ada perempuan muda memakai rok super mini dengan rambut sebahu. Ia berjalan sangat cepat. Saya jadi penasaran, seperti apa ya wajahnya. Saya jalan lebih cepat lagi. Setelah bisa menyusul. Ah …ternyata wajahnya sama sekali tidak cantik. Saya jadi malu sendiri, apalagi bapak-bapak ya? Saya aja penasaran pengen lihat wajah wanita itu.

Di Jakarta seseorang yang berjalan kaki di pinggir jalan raya tidak dihormati.  Tidak ada trotoar yang memadai. Kalaupun ada, seringkali dipakai jualan atau dilewati oleh motor.

Satu hal lagi yang memprihatinkan adalah budaya kita yang suka pamer. Semakin banyak dan keren mobilnya semakin dihormati. Biarlah bermacet-macet ria, menghabiskan BBM bersubsidi, yang penting naik mobil baru. Jalan kaki? Gengsi dong. Pejalan kaki itu dianggap kere.

Padahal banyak berjalan kaki itu baik untuk kesehatan, mengurangi kemacetan dan juga menghemat BBM.  Berjalan kaki adalah kebiasaan penduduk di daerah Blue Zones (penduduk di dunia dengan rata-rata usia terpanjang dan sehat di dunia).

Bukan berarti saya menganjurkan semua orang untuk jalan kaki dari rumah sampai ke tujuan lho. Apalagi kalau tujuannya jauh. Kebiasaan berjalan kaki itu sangat diperlukan apabila seseorang harus berganti kendaraan umum ataupun pergi ke tempat yang tidak terlalu jauh. Janganlah dibiasakan untuk naik kendaraan, apabila lokasinya masih bisa ditempuh dengan jalan kaki. Bikin macet, bikin orang malas bergerak, tidak sehat dan boros BBM.

Jadi usul saya kepada siapapun yang jadi Gubernur Jakarta nantinya Pak Ahok ataupun Pak Jokowi. Selain perbaikan transportasi massal, diperlukan juga perbaikan trotoar jalan, jalur sepeda dan kerjasama dengan Kementrian Pendidikan. Memperbaiki mutu sekolah, menetapkan kebijakan rayon dan membiasakan masyarakat untuk berjalan kaki.  Selamat bekerja Pak. Semoga sukses ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline