Selasa siang, 16 Agustus 2016, sehari sebelum hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 71.
AKU duduk berhadapan dengan putri sulungku, menikmati makan siang kami.
Sama sekali tak tergesa, aku memang ingin menggunakan waktu dimana kami berada berdua itu untuk pecakapan antara ibu dan anak. Menyampaikan beberapa pesan padanya, si sulung yang tak lama lagi akan tinggal terpisah cukup jauh dengan kami.
Pada pagi harinya, aku mengantarkan putriku itu untuk mengurus permintaan visa belajar di luar negeri.
Putriku lulus sidang tugas akhir di Fakultas Teknik sebuah Perguruan Tinggi Negeri di tanah air beberapa bulan yang lalu dan lalu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Full scholarship, seluruh biaya dari mulai pegurusan visa, pesawat menuju ke negeri tujuan, biaya yang berhubungan dengan biaya kuliah, biaya hidup, hingga nanti biaya pesawat untuk kembali ke tanah air ditanggung pemberi beasiswa.
Dan aku tahu, inilah saatnya..
Ini titik dimana dia akan mulai mengepakkan sayapnya, terbang tinggi jauh dari tanah air, di usianya yang ke 21.
Aku sadar, ini juga merupakan buah dari banyak pembicaraan yang pernah kami orang tuanya, ayah dan ibunya baik bersama- sama maupun sendiri- sendiri lakukan dengan putri kami.
Dari percakapan ringan saat dirinya masih di bangku awal Sekolah Dasar, dimana kami berpesan padanya untuk rajin belajar “supaya nanti saat sudah besar bisa sekolah keluar negeri, gratis, ada yang mbayari – seperti yangkung, Bapak, oom.. “
Lalu percakapan lebih serius ketika cah ayu ini duduk di bangku sekolah menengah ketika dia mengatakan padaku, “ Ibu, aku nanti mau sekolah sampai Doktor. “
Aku mengangguk ketika itu.