Lihat ke Halaman Asli

Rumah Kayu

TERVERIFIKASI

Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Kepemimpinan Transformatif: (adalah) Karakter Diri - 1

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1353069108856440985

* Tulisan ini dibuat oleh blogger tamu: Wiwit, 16 tahun

Pemimpin yang baik dilahirkan sebagai seorang pemimpin, bukan dibentuk. Benarkah? Tetapi, bukankah setiap manusia memang ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin? Setidaknya pemimpin untuk dirinya sendiri. Mempelajari, mengetahui, mengerjakan. Memilih apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak. Menentukan sikap diri terhadap apa yang terjadi. Itu yang dilakukan seorang pemimpin, bukan? Berarti seharusnya di dunia ini terdapat banyak pemimpin yang baik, kan?

Lalu, melihat keadaan saat ini, apakah hal tersebut benar adanya? Sudahkah para pemimpin yang transformasional muncul ke permukaan?

[caption id="attachment_216669" align="aligncenter" width="462" caption="Gambar: maheshbaxi.squarespace.com"][/caption]

Sebelumnya, mengenai kepemimpinan transformasional. Apa itu? Kepemimpinan yang transformasional adalah sebuah sistem kepemimpinan modern. Proses ini tidak terjadi dengan paradigma lama bahwa seorang pemimpin harus dihormati, ditaati -- dilihat dari sudut pandang bawahan. Pemimpin yang transformatif dapat menjadikan dirinya sebagai pusat dari sebuah organisasi kepemimpinan dengan sendirinya; dengan karakteristik diri sebagai kuncinya.

Seorang pemimpin harus mengutamakan kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingannya sendiri. Seringkali kita mendengar kalimat tersebut. Hanya saja, sudahkah para pemimpin merealisasikan hal tersebut? Atau adakah masalah lain: bagaimana cara membawa hal tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari?

Banyak orang yang berpikir seperti ini: Ketika saya sudah sukses, saya akan... Dengan hal-hal baiklah yang melengkapi niat itu, seakan hal tersebut dilakukan untuk 'membayar' keberhasilannya. Adalah hal yang baik untuk membagi kebahagiaan yang kita miliki, akan tetapi, mengapa harus menunggu mendapatkan apa yang diinginkan terlebih dahulu dan baru melakukan sesuatu untuk orang lain setelahnya? Bukankah hal tersebut menunjukkan bahwa kepentingan sendirilah yang paling penting? Padahal, biasanya sudut pandang tersebut dimiliki dan diutarakan oleh orang-orang yang telah memiliki tujuan jelas semenjak muda, yang notabene adalah para calon pemimpin.

Kalau saja pusat pemikirannya sedikit diubah, itu akan membawa dampak yang lebih dari sekadar sedikit. Apabila seorang pemimpin benar-benar ingin mengutamakan kepentingan orang lain, ia dapat melakukannya sebelum -- dan selama -- ia berusaha mencapai keinginannya.

Hal baik tak hanya bersumber dari uang dan status atau jabatan, kan? Memang tak dapat dipungkiri bahwa ketiga hal tersebut berpengaruh pada apa yang dapat kita berikan, tetapi masih ada sisi lain yang dapat ditelaah lebih jauh.

Setiap orang memiliki kemampuan masing-masing: tenaga, ilmu dan waktu yang dapat disalurkan. Oke, waktu memang tidak dapat disalurkan, namun dapat kita jalani dengan pekerjaan yang kita pilih sendiri. Membuka sebuah perpustakaan untuk anak-anak atau kelas pendidikan dini seminggu sekali. Pelatihan keterampilan umum dan khusus bagi warga daerah yang selama ini kurang produktif. Tidak terlalu sulit sebenarnya.

Tetapi jangan pula lupa pada kepentingan sendiri. Diam untuk diri sendiri, bergerak untuk orang lain. Seharusnya tidak usahlah seperti itu. Apakah kita rela diri kita diinjak oleh orang lain? Seorang pemimpin semestinya melakukan keduanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline