Akhir minggu di rumah kayu. DEE tersenyum- senyum senang. Akhir- akhir ini dia sering merasa lelah dan pegal di tubuhnya. Dan di pagi hari itu, si kecil Pradipta menawarkan dengan manis, “ Bunda pegal lagi? Aku pijat ya bunda? “ Oh, senangnya. Dee dengan segera mengangguk dan jemari mungil itu mulai menelusuri leher dan pundaknya. Terntu saja, pijatan Pradipta tak dapat dibandingkan dengan pijatan orang dewasa, apalagi pemijat profesional. Tapi kehangatan dan rasa sayang yang dialirkan dalam setiap sentuhan si kecil di kulitnya sungguh membuat hati Dee bernyanyi.
***
Terdengar dering bel dari pagar depan. Kuti bangkit dari duduknya. Terdengar suara- suara, dan… “ Hallo Tante, “ terdengar suara Respati. Dee menoleh. Pradipta tertawa lebar, gembira sekali mendengar suara sepupunya. Apalagi ketika di belakang Respati muncul seorang anak laki- laki lagi. Pratama. “ Hai…” Dee tertawa, “ Sama siapa? “ “ Ibu dan Bapak, tante… “ jawab Pratama, “ Tadi habis antar Kak Cintya ke sekolah, terus jemput Respati dan Kirana, lalu kesini… “ Kirana? Mata Dee mencari- cari. Dan yang dicarinya muncul. Seorang gadis cilik berambut poni berjalan perlahan di belakang Pratama. Dee tersenyum dan bangkit dari duduknya. Dia memeluk Pradipta sejenak, mengucapkan terimakasih karena Pradipta telah memijatnya lalu menghampiri Kirana dan menciuminya dengan hangat. Sudah agak lama dia tak bertemu dengan keponakan ciliknya ini. Kangen sekali rasanya. Dee melihat Kuti berjalan beriringan dengan Ibu dan Ayah Cintya dan Pratama, Prameswari dan Wirya di halaman muka. “ Papa dan mama nggak ikut? “ tanya Dee pada Respati dan Kirana setelah tak dilihatnya siapa- siapa lagi selain mereka. Kedua anak yang ditanya Dee menggeleng, dan terdengar kemudian suara Respati, “Nggak, tante. Papa ada pertemuan dengan tetangga di lingkungan rumah. Mama jaga adik. “ Dee mengangguk maklum. “ Dik Radya sehat? “ tanya Dee pada Respati yang menjawabnya dengan anggukan. Radya adalah adik Respati dan Kirana, si kecil lucu dengan pipi yang chubby. Sementara itu Prameswari yang telah masuk ke dalam rumah menghampiri Dee lalu memeluk dan menciumnya. Lalu diulurkannya sebuah pinggan pada Dee. “ Apa ini? “ tanya Dee mengamati pinggan tersebut. Tampak taburan kismis di permukaan sementara wangi kayumanis terhambur dari situ. “ Roti karamel panggang, Dee, “ jawab Prameswari. “ Waktu Pradipta main ke rumah aku bikin ini dan dia suka. Jadi aku buatkan lagi sekarang. “ Dee menerima pinggan itu sambil mengucapkan terima kasih atas oleh- oleh yang dibawa saudaranya tersebut.
***
[caption id="attachment_163679" align="aligncenter" width="321" caption="Tank tops. Ilustrasi: bargainbriana.com"][/caption] Anak- anak segera duduk berkelompok. Sebagian bermain monopoli, sebagian lagi mencoba menyusun keping- keping puzzle. Kuti mengobrol dengan Wirya sementara Dee duduk di dekat Prameswari. “ Cintya ngapain di sekolah? “ tanya Dee para Prameswari “ Ada try out Dee, persiapan ujian, “ jawab Prameswari. Dee mengangguk maklum. Cintya sudah duduk di bangku kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan menempuh ujian sekolah. Akhir minggu di sekolah saat ini diisi dengan try out dan kegiatan tambahan belajar. Berbeda dengan saat dia duduk di kelas 1 dan 2, ketika akhir minggu diisi dengan kegiatan ekstra kurikuler, yang menurut Dee juga penting. Dee percaya bahwa kemampuan sosial dan organisasi yang diperoleh Cintya dari kegiatan ekstra kurikuler semacam itu kelak akan berperan sama pentingnya dengan kemampuan akademik yang dimilikinya. Dan pada diri keponakannya tersebutlah Dee melihat bahwa masa pubertas seorang remaja bisa juga dilalui tanpa terlalu banyak gejolak dan ombak yang menghempas. Tentu saja ada banyak perubahan terjadi saat Cintya bertransformasi menjadi gadis remaja Tapi perubahan itu terjadi dengan mulus. Tak terlalu banyak gonjang- ganjing. Tidak pula tampak pertengkaran orang tua- anak yang konon biasa terjadi saat anak memasuki masa pubertas. Cintya tumbuh menjadi remaja yang ajeg, dengan akar yang tertanam cukup kuat, dan dipihak lain juga memiliki kesiapan yang cukup untuk tumbuh menggapai cita dan memperluas wawasan. Cintya juga tetap santun dan cukup patuh pada orang tuanya walau dia juga terbuka menyampaikan pendapatnya. Termasuk, kadangkala dia bisa meledek dan bergurau dengan kedua orang tuanya. Syukurlah dia begitu, pikir Dee dengan rasa sayang. Dee selalu merasa berkepentingan dengan pertumbungan Cintya sebab ketika Cintya kecil, Dee sering turut mengasuhnya. Cintya remaja adalah gadis yang tahu bahwa dia memiliki beragam potensi yang dapat dikembangkan. Dia tampil percaya diri tanpa harus menjadi sombong. Cara berpakaiannya juga cukup baik dan bergaya remaja walau tak pula tampak terlalu gemerlap. Tentang penampilan ini, ada satu hal yang selalu diperhatikan oleh Dee, yaitu bahwa sang keponakan ini tak pernah sekalipun tampak menggunakan baju yang – entah sengaja entah tidak – terlalu pendek dan sering terangkat memperlihatkan perut, pinggang atau pinggulnya. Dan juga.. Dee tersenyum. Prameswari adalah seorang ibu yang sebenarnya cukup berpandangan maju walau dalam beberapa hal dia tak bisa ditawar- tawar. “ Baju dalam itu letaknya di dalam, “ begitu yang diajarkan Prameswari pada Cintya. Ajaran yang bersumber pada keprihatinannya melihat bagaimana banyak remaja dengan tenangnya bahkan sengaja ‘mempertontonkan’ baju dalam mereka. Walau baju dalam masa kini memiliki model dan motif yang menarik, bagi Prameswari, itu tak membuat perbedaan. Baju dalam fungsinya tetap bukan untuk dipamer- pamerkan ke luar. Dalam hal ini, Pramewari menggunakan hak vetonya sebagai ibu untuk membuat sebuah aturan yang tidak bisa dinegosiasikan. “ Gunakan satu lapis lagi baju dalam di atas bra, “ itu yang dia ajarkan pada Cintya. Prameswari menyesuaikan permintaannya dengan gaya berpakaian para remaja. Kecuali saat ke sekolah dimana Cintya menggunakan semacam kaus singlet katun berwarna putih dibalik kemeja seragamnya, untuk digunakan di luar sekolah Prameswari membelikan beragam tank top dengan warna dan motif yang beragam dan mengatakan pada Cintya bahwa dia boleh menggunakan tank top itu sebagai pengganti singlet yang konvensional. Pendekatan semacam itu merupakan win-win solution. Permintaan Prameswari terpenuhi, sementara Cintya remaja bisa menggunakan tank top beragam warna dan model itu sebagai lapisan dalam t-shirt atau kemejanya tanpa merasa ‘tampil aneh’ atau terpaksa, bahkan merasa gaya karenanya. Baik orang tua maupun anak merasa gembira. Ah, pikir Dee… menjadi orang tua memang tak mudah. Tapi tidak pula berarti tidak ada jalan keluar. Selalu ada cara jika orang tua mau mengerti dan berpikir kreatif…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H