Lihat ke Halaman Asli

Rumah Kayu

TERVERIFIKASI

Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Kebebasan Bereskpresi di Internet, Sebatas Euforia?

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13283655531554310282

ADA suatu masa ketika internet dianggap sebagai media untuk mengekspresikan apa saja, tanpa batas. Namun benarkah di internet seseorang bisa berbuat apa saja? Apakah kebebasan berekspresi di internet benar-benar  tanpa batas dan norma? Ketika internet menjadi ‘mainan’ baru di Indonesia, sekitar pertengahan hingga akhir tahun ’90-an, masyarakat menyikapinya dengan beragam. Ada yang menganggapnya sebagai media alternatif dan semua yang disajikan sudah pasti benar. Sebagian justru menilainya sebagai wahana berisi sampah dan gosip semata. Saat itu, internet dijadikan sebagai media alternatif untuk mengungkap dan mempublikasikan sejumlah informasi yang sifatnya rahasia. Yang paling disukai saat itu adalah informasi seputar keluarga Cendana dan atau pemerintah Orde Baru.  Sejumlah informasi sensitif yang dipastikan tidak akan dimuat  media massa mainstream pun berseliweran di dunia maya, kendati masih berupa  situs sederhana dan milis Internet.  Informasi seputar daftar kekayaan dan gurita bisnis keluarga Cendana dan kroni-kroninya, termasuk saham mereka di sejumlah perusahaan asing, mendominasi dunia maya. Sejauh yang aku amati, nyaris tidak ada sanggahan dari pemerintah. Mungkin karena saat itu pemerintah belum sepenuhnya memahami apa itu internet, dan belum menganggap kebebasan berekspresi di internet sebagai sesuatu yang serius. [caption id="attachment_160310" align="aligncenter" width="343" caption="Gambar: www.savagechickens.com"][/caption] Dengan berlalunya waktu, internet tidak hanya berisi berita politik sensitif. Sejumlah berita terkait selebriti pun mulai menyeruak. Yang paling populer adalah daftar sejumlah selebriti yang diisukan ‘bisa dibooking’. Karena yang masuk dalam daftar adalah selebriti papan atas (saat itu), sebagian menilainya sebagai sampah alias gosip semata. Sebagian lagi menganggapnya sebagai kebenaran. Aku ingat, saat itu ada teman yang mengatakan,” Karena sudah muncul di internet maka sudah pasti informasi (tentang artis yang bisa dibooking ) itu benar!!” Internet akhirnya memunculkan apa yang kemudian dikenal sebagai portal atau situs berita. Diawali oleh detikcom, sejumlah portal berita milik kelompok kaya pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Pada periode ini, berita yang tersaji di dunia maya mulai mendapatkan ujian secara proporsional. Pembaca mulai kritis dan tak segan mempertanyakan akurat tidaknya sebuah berita. Publik pun dengan mudah bisa memilah mana informasi yang akurat dan mana yang isinya sampah. Periode emas Periode 2000 hingga awal 2010 mungkin dapat disebut sebagai masa-masa emas bagi kebebasan berekspresi di internet Indonesia. Apalagi ketika sejumlah pengguna menyadari bahwa mereka bisa mengirimkan atau mempublikasi apa saja di internet. Tak hanya berita dalam bentuk kata-kata, namun juga gambar. Bahkan video. Di awal dasawarsa 2000-an, publik sempat digemparkan oleh munculnya foto-foto artis papan atas yang tanpa busana. Karena saat itu program pengolah gambar belum populer, banyak masyarakat yang menganggap foto tanpa busana itu sebagai kebenaran, dan asli. Banyak yang tidak menyadari kalau apa yang dianggap sebagai ketelanjangan itu sebenarnya hanya rekayasa digital semata. Namun tentu tak semua foto ‘ehem ehem’ yang tayang di dunia maya adalah hasil rekayasa. Banyak juga yang benar-benar asli. Bahkan saat itu ada beberapa situs yang memfokuskan diri pada foto-foto menggiurkan dengan model amatir yang umumnya masih belia. Beberapa situs bahkan menawarkan keanggotaan berbayar untuk bisa mengakses foto-foto itu. Selain foto, juga muncul situs yang mengkhususkan diri pada cerita panas (atau cerita untuk dewasa), lengkap dengan berbagai kategori. Kebebasan berekspresi di internet juga diwujudkan dalam debat panas. Sejumlah forum dan situs dijadikan media untuk berdebat. Tema yang paling ramai adalah religi. Pendukung atau pemeluk agama A mengajukan pertanyaan terkait akidah kepada pemeluk agama B. Hal yang sama dilakukan pemeluk agama B yang balik menyerang pemeluk agama A. Biasanya debat terkait religi ini berakhir dengan caci-maki. Sepanjang yang aku amati, nyaris atau jarang debat terkait religi yang berlangsung santun. Umumnya justru berisi kebencian yang sama sekali tidak membangun. Debat semacam ini terus muncul hingga kini. Bahkan admin di Kompasiana terpaksa menghapus rubrik agama karena nyaris semua tulisan terkait agama, bahkan yang isinya menyejukkan dan menyegarkan iman, dikomentari  dengan debat yang ujungnya selalu caci-maki. Jejaring sosial Sejak 2009, kebebasan berekspresi di internet mulai memperlihatkan dimensi yang berbeda. Internet semakin dikenal. Nyaris semua pihak yang berkecimpung di internet memiliki alamat surat elektronik (email). Munculnya sejumlah situs jejaring sosial atau media sosial juga memberi warna tersendiri. Kini rata-rata anak muda di Indonesia punya akun di Facebook. Sebagian orang dewasa juga tak merasa risih berasyik-masyuk dengan jejaring sosial yang dibentuk Mark Zuckerberg ini. Bukan hanya Facebook yang menjadi fenomena. Layanan microblogging Twitter juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Kini banyak pihak yang menjadikan akun Twitternya sebagai nama atau identitas resmi. Twitter dan Facebook kini tidak lagi menjadi sarana narsisme, namun mulai bertransformasi sebagai media sosial yang peduli dengan berbagai persoalan. Munculnya gerakan ‘Save Jakarta’ atau ‘Jalin Merapi’, misalnya, merupakan bentuk solidaritas yang dijalin oleh dunia maya khususnya Twitter. Untuk Facebook, pasti publik masih ingat bagaimana gempitanya dukungan untuk Prita Mulyasari yang diwujudnyatakan dalam pengumpulan koin. Juga dukungan sekitar 1,3 juta pengguna Facebook untuk pemimpin KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto melalui kampanye ‘Cicak lawan buaya’. Begitu juga dukungan untuk mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Jerat hukum Kebebasan berekspresi di internet yang awalnya diyakini tanpa batas akhirnya mendapatkan kerikil tajam dalam bentuk UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.  Padahal menurut Anggara Suwahju, kebebasan bereskpresi sudah dirumuskan dalam UUD 45, terutama pasal 28  (Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang undang), Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 (Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat), dan  Pasal 28 F UUD 1945 (Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia). UU ITE dianggap sebagai jawaban untuk berbagai kasus terkait internet yang diyakini tidak terjangkau hukum. Namun benarkah internet pra-UU ITE benar-benar tidak terjangkau hukum? Anggara Suwahju menilai, sebenarnya banyak kasus ‘tradisional’ terkait internet yang bisa diselesaikan dengan KUHP. “Dalam beberapa hal, hukum pidana Indonesia yakni KUHP sebenarnya masih mampu menjangkau kejahatan-kejahatan tradisional yang dilakukan di medium internet, seperti penghinaan, kesusilaan, penyebaran kebencian, penodaan agama, perjudian, pengancaman dan beberapa tindak pidana lain,” kata Anggara, yang ikut mengajukan judicial review Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ke Mahkamah Agung. Upaya pengujian dimentahkan Mahkamah Agung. Artinya, UU ITE yang dinilai kontroversi bisa diberlakukan dan siap menjaring pengguna internet yang ‘lengah’. Peluang dan ancaman Pertumbuhan internet di Indonesia memperlihatkan grafik yang mencengangkan. Situs Internet World Stats menyebut, pada periode tahun 2000 hingga 2010 terjadi peningkatan jumlah pengguna internet hingga 1.500 persen. Pengguna internet aktif di Indonesia sebagaimana dilansir BBC, berada pada kisaran 30 juta, dan menempati peringkat kelima pengguna internet terbesar di Asia, di bawah Cina, Jepang, India dan Korea Selatan, dan berada di posisi 16 besar pengguna internet dunia. Perkembangan internet dibarengi pertumbuhan pengguna situs jejaring sosial. Indonesia, hingga pertengahan 2011 menempati peringkat kedua pengguna Facebook tertinggi dunia, yakni 38,5 juta. Sementara pengguna Twitter menurut Comscore mencapai 5 juta, yang menempatkan Indonesia di peringkat 5 pengguna tertinggi dunia. Mulai tingginya penetrasi internet di tanah air merupakan hal yang menggembirakan. Merupakan bukti bahwa Indonesia bukan lagi pemain asing di dunia maya. Namun sejalan dengan itu, batu sandungan berupa UU ITE masih menanti mangsa. Jika pengguna internet tidak hati-hati, jika ceroboh, maka  jerat hukum menanti. Memang, setelah kasus Prita Mulyasari, dapat dikatakan tak ada lagi kasus besar terkait dugaan pelanggaran UU ITE yang menghebohkan Tanah Air. Ada beberapa kasus lain namun umumnya gaungnya tidak sebesar kasus Prita. Namun hal ini tentu tetap perlu dijadikan pelajaran, untuk tetap mawas diri. Tentu pelaku dugaan pelanggaran UU ITE tak bisa berharap kalau khalayak akan memberikan dukungan dan simpati sebesar yang diterima Prita Mulyasari. Praktisi internet tak bisa berharap pada tabiat mayoritas masyarakat Indonesia khususnya pengguna jejaring sosial yang mudah iba pada pihak yang dinilai menjadi korban ketidak-adilan.  Jadi, jangan sampai ada pihak yang dengan sengaja menghina pihak lain tanpa dasar dan data, dan setelah diajukan ke pengadilan karena dinilai mencemarkan nama baik, pihak ini mengiba-ngiba meminta simpati publik!!! Sensor diri Kalau begitu, apa yang harus dilakukan penggunainternet sehubungan dengan kebebasan berekspresi di internet? Hal yang pertama dan paling penting adalah sensor diri. Menimbang-nimbang dengan ketat apakah posting di blog atau komentar di Facebook atau Twitter dapat dikategorikan sebagai rawan atau tidak. Sensor diri tentu bukan berarti menjadi lunak. Atau lembek. Atau tanpa pendirian. Sensor diri adalah keberanian mengungkap fakta berdasarkan data. Jadi jika seseorang ingin mengkritik pemerintah misalnya, kritiklah dengan proporsional. Kritiklah kebijakan dan bukan pribadi. Kritikan juga harus fokus dan jangan mengambang. Jadi jika mengungkap bahwa ‘pemerintah lamban’, harus jelas pemerintah yang mana? Apakah kepala desa? Apakah camat? Apakah bupati atau gubernur? Apakah presiden? Dan jika lamban, di mana lambannya? Terkait kasus apa? Apakah kelambanan tekait kasus korupsi? Atau kelambanan menyikapi penyiksaan TKW di Arab? Selain sensor diri, hal yang harus dikembangkan adalah kedewasaan dan keterbukaan, terutama menyikapi perbedaan pendapat. Banyak pengguna internet yang menganggap pihak yang berbeda pendapat (atau berbeda keyakinan) sebagai  musuh. Banyak yang belum bisa menerima fakta bahwa dunia ini dipenuhi keberagaman, dan merupakan hal yang mustahil meminta semua pihak untuk satu suara. [caption id="attachment_160312" align="aligncenter" width="357" caption="Gambar: www.savagechickens.com"]

13283681852110731799

[/caption] Di Indonesia, masih jarang ditemui debat (terutama untuk topik sensitif seperti agama), yang berlangsung santun, di mana pihak yang terlibat berdiskusi dengan asas saling menghormati dan menghargai. Apa yang diceritakan oleh Margareta Astaman merupakan contoh menarik yang patut ditiru. Bahwa perbedaan bisa didiskusikan tanpa caci maki. Pada akhirnya, semua pihak yang terlibat di dunia maya harus menyiapkan diri untuk menerima dampak dari interaksi yang terjadi secara online. Baik yang positif maupun negatif. Pengguna internet harus bertanggung-jawab dan siap  menerima konsekuensi dari apa yang ditulis atau disuarakan.  Jika seseorang nekat memposting foto atau video ‘ehem-ehem’, misalnya, dia harus siap dengan konsekuensinya, termasuk jerat hukum. Berani berbuat harus berani bertanggung-jawab. Apalagi, di dunia maya berlangsung hukum kekekalan. Apa yang Anda tulis atau posting akan tersimpan selamanya. Bahkan jika posting atau blog atau akun tertentu sudah dihapus, jejaknya masih tersisa, dan dapat digali kembali! Kemauan dan kesiapan untuk bertanggung-jawab, pada hakekatnya merupakan hal terpenting dalam kebebasan berekspresi di internet. Kebebasan berekspresi di internet bukan sebatas euforia. Bagaimana pendapat Anda?



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline