[caption caption="Bermain balok untuk memicu perkembangan fisik dan psikis anak (dok RBP)"][/caption]Pagi itu (19/4) Kana yang masih balita terlihat asyik bermain dengan balok-balok kayu berbagai bentuk dan ukuran didampingi oleh Bu Aci, salah seorang guru pembimbin di PAUD ‘ Tamansari Persada’, Jatibening Baru, Bekasi. Balok yang digunakan di sini adalah, sesuai panduan Diknas (2003), potongan-potongan kayu polos tanpa cat dengan ketebalan relatif sama dan panjang bervariasi 2-4 kali ketebalannya. Bentuknya bisa berupa silinder, setengah lingkaran, persegi panjang, atau menyerupai kurva tertentu selama ukurannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
Bermain balok adalah metode yang menyenangkan bagi anak dalam memperkenalkannya pada cara menghitung jumlah benda, konsep ukuran besar-kecil atau panjang-pendek, berbagai bentuk dasar geometri (kubus, silinder, lingkaran, dan sejenisnya), mengelompokkan barang berdasarkan bentuk, memadu-padankan antar balok sesuai pasangannya, membangun susunan-susunan balok sesuai imajinasinya, dan menutup aktifitas bermain dengan menyimpan semua balok kembali ke tempatnya semula.
“Bermain balok merupakan media untuk menyiapkan anak-anak yang belum terbiasa dengan rutinitas agar bisa beradaptasi dengan agenda sekolahnya nanti,”Ungkap Wina Yunitasari, SPd., Ketua PKBM ‘Tamansari Persada’ yang bertanggungj,awab dalam proses pembelajaran di PAUD ‘Persada’,”Di Sentra Balok ini anak-anak diajak untuk membuat sebuah bangunan dengan durasi waktu yang disepakati dan bertanggungjawab merapikannya sebelum melangkah ke aktifitas berikutnya.”
[caption caption="Membangun kesepakatan untuk merangsang kecerdasan emosional (dok RBP)"]
[/caption]Penggunaan mainan balok ini sejalan dengan hasil penelitian pakar pendidikan anak asal Italia , Dr Maria Montessori, yang menunjukkan bahwa anak berusia 2- 6 tahun memiliki tingkat perkembangan fisik- psikis yang sangat pesat dan dibutuhkan fasilitas, termasuk alat-alat bermain edukatif, untuk mengakomodir bahkan memacu perkembangan tersebut yang kelak akan berdampak positif pada pertumbuhan kecerdasannya.
Langkah guru pembimbing untuk membuat ‘kesepakatan’ soal waktu ataupun hal-hal lain dengan anak juga merupakan pilihan yang tepat mengingat penelitian Montessori juga memperlihatkan bahwa pada periode usia 2-6 tahun, anak sangat senang kalau diberikan kesempatan untuk menentukan keinginannya sendiri dan memiliki kebutuhan ekstra akan perhatian serta kemerdekaan bertindak.
Pada periode ini pula muncul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut pemenuhannya. Mereka terdorong untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya tentang berbagai hal yang ingin mereka ketahui dan pembimbing, terutama orangtua, hendaknya memberikan jawaban yang wajar. Perhatikan pula aspek keteladanan karena anak-anak usia 2-6 tahun punya kecenderungan besar untuk meniru segala sesuatu yang dilakukan oleh orangtuanya.
Persiapan pra sekolah yang tepat akan membuat anak-anak menjadi pribadi yang mandiri, mampu bersosialisasi, percaya diri, punya rasa ingin tahu yang besar, bisa mengambil ide, mengembangkan ide, pergi ke sekolah dan siap belajar dengan bersemangat tanpa kesulitan menjalani masa adaptasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H