[caption caption="Kuliah dalam keremangan cahaya (dok RBP)"][/caption]
Dua lampu petromaks, satu digantung menjuntai di atas kepala dan lainnya diletakkan di lantai papan, membagikan cahaya sekadarnya saja dalam ruang Bale Kampung yang berstruktur rumah panggung berbahan utama kayu-bambu untuk dinding plus anyaman ijuk untuk penutup atap itu. Para homeschooler jenjang SMA Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening yang malam (29/9) tersebut berkesempatan menyimak sekaligus bertanya jawab seputar kehidupan warga Kampung Naga dengan Lebe Henhen didampingi pemandu mereka Pak Endut harus belajar menyesuaikan pandangan mereka dengan suasana temaram di wilayah yang memang menabukan kehadiran listrik selama entah berapa dekade itu.
Kampung Naga yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, itu merupakan sebuah perkampungan yang status kepemilikan lahannya adalah hak milik adat (ulayat) yang di atasnya berdiri 113 buah bangunan, 110 di antaranya adalah rumah hunian warga dan 3 lainnya merupakan bangunan umum. Bangunan umum terdiri dari mesjid, Bale Kampung (tempat warga bermusyawarah), dan leuit (lumbung padi umum). Adapun penduduknya berjumlah 297 orang yang keseluruhannya beragama Islam dengan matapencaharian utama bertani. Usaha sampingan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dilakukan dengan beternak, membuat aneka produk kerajinan tangan, dan berdagang.
“Masyarakat di sini bertani dan hasilnya sebagian besar digunakan sendiri untuk kebutuhan sehari-hari .”Papar Henhen,”Lantas ada pula yang disimpan untuk berjaga-jaga mengantisipasi musim paceklik (saat kemarau dan produksi pertanian menurun drastis, -pen.).”
Kiat preventif urusan pangan ini terlihat pada keberadaan leuit yang difungsikan sebagai lumbung pangan warga dan dikumpulkan dari kontribusi semua keluarga di Kampung Naga, di lingkup keluarga terdapat gowok yang memiliki fungsi sama. Prinsip senantiasa siaga menghadapi segala kemungkinan juga nampaknya melandasi kekukuhan menolak masuknya listrik ke wilayah mereka.
“Begitu listrik masuk, bisa dipastikan segala macam peralatan listrik seperti televisi, kulkas, dan sejenisnya akan ikut masuk juga .”Kali ini Endut yang bertutur,”Hal itu bisa menimpulkan rasa saling iri antar warga yang mampu dan tidak, belum lagi berbagai tayangan dari teve yang belum tentu cocok dengan budaya di sini dikuatirkan bisa merusak pendidikan anak-anak .”
[caption caption="Tour d'Kampung Naga bersama Pak Endut (dok RBP)"]
[/caption]
Kerukunan dan kemaslahatan bersama sepertinya merupakan sebuah alasan lain yang melatari homogennya desain interior-eksterior rumah-rumah hunian warga, termasuk dalam segi luas bangunan. Bahkan perabotan yang dimiliki pun demikian pula dengan sedikit variasi berdasarkan selera pemiliknya, itupun nyaris tak terlihat. Namun jangan remehkan konsep nan minimalis ini yang ternyata punya dampak signifikan terhadap kesejahteraan jiwa-raga penghuni Kampung Naga.
“Rumah bergaya panggung dengan penyangga batu di empat penjurunya plus dinding dari bilik (anyaman bambu, -pen.) dengan penutup atap terbuat dari anyaman ijuk ini terbukti tahan gempa, jadi kalau di kota-kota besar warga disuruh keluar dari rumah saat terjadi gempa, maka di sini justru sebaliknya.” Ujar Henhen yang lantas bercerita bagaimana cerianya anak-anak Kampung Naga menikmati goyangan gempa di dalam rumah-rumah panggung mereka,”Kata mereka seperti naik ombak banyu (jetcoaster tradisional, -pen.) di pasar malam, tapi ini mah gak usah bayar…”
Begitulah saat berbagai bangunan di perkotaan yang dibangun dengan bahan-bahan pabrikan modern plus teknologi canggih bisa menjadi ancaman bagi para penghuninya saat terjadi bencana alam, rumah sederhana Kampung Naga justru menawarkan perlindungan yang bahkan bisa dijadikan hiburan bagi penghuninya. Kelebihan lain, masih menurut penuturan Henhen, rumah panggung Kampung Naga memiliki ‘kemampuan’ menyesuaikan diri secara pas dengan temperatur di luar,”Saat musim penghujan yang dingin, ruang dalam rumah akan menjadi hangat, dan saat musim panas, justru menjadi sejuk hingga penghuninya tetap merasa nyaman beraktifitas .”
Satu kelebihan lagi, saat bangunan di kota rusak dan meninggalkan tumpukan sampah bahan bangunan yang teramat sulit terurai bahkan sampai beberapa dekade, maka rumah panggung yang melapuk akan menyisakan bahan-bahan alami yang akan segera terurai menjadi pupuk penyubur tanah Kampung Naga.