Lihat ke Halaman Asli

Meresapi Pola Hidup Bebas Bencana Ala Kampung Naga

Diperbarui: 4 Oktober 2015   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Menuruni ratusan anak tangga ditemani matahari meninggi (dok RBP)"][/caption]Tepatnya ada 439 jenjang anak tangga batu yang harus dituruni oleh para homeschooler SMA Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening dan para guru pembimbing mereka agar bisa mencapai tujuan outing kali ini, yaitu Kampung Naga yang merupakan bagian wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Maka begitulah, di bawah curahan cahaya surya tengah hari (29/9) yang kian menyengat itu mereka semua berjuang mengendalikan lutut dan betis agar bisa terus melangkah ke daerah sasaran sembari bermandikan keringat. Syukurlah keelokan panorama deretan petak sawah nan menghijau nun di bawah sana yang mengelilingi rumah-rumah panggung dengan atap ijuk-nya mampu memberikan kesejukan tersendiri bagi mata, apalagi saat anak tangga terakhir sukses dijejaki dan gemuruh lembut aliran Sungai Ciwulan menyambut mereka dengan ramah.

Orang sering keliru mengaitkan nama kampung yang terkenal dengan kekukuhan warganya mempertahankan tradisi leluhur mereka selama puluhan tahun itu dengan binatang mitologis Tiongkok yang beken dengan sebutan dragon dalam istilah Inggris,” Padahal ‘naga’ di situ sebenarnya merupakan kependekan istilah bahasa Sunda ‘na gawir’ yang berarti ‘berada di lembah’ sesuai dengan keberadaan Kampung Naga yang terletak di sebuah lembah.” Papar Lebe Henhen, yang malam itu mewakili Kuncen Kampung Naga, dalam uraiannya di Bale Kampung.

Suasana Bale yang remang-remang karena hanya diterangi lampu petromaks nampaknya memberikan ‘sentuhan’  tersendiri pada para homeschooler yang duduk lesehan di lantai papan seraya berusaha keras menyimak uraian para sesepuh di bawah sergapan ngantuk dan lelah. Keheningan di sekitar tempat mereka berkumpul yang cuma sesekali terinterupsi suara binatang malam dan gerisik angin yang menyentuh daun, atap, benda apapun yang disinggahinya membuat suara Henhen dan Endut, pemandu wisata mereka, seolah berubah menjadi alunan Nina Bobo yang menghanyutkan. Tak apalah toh mereka mampu bertahan mengisi lembar karya siswa yang menjadi bagian tugas akademik rutin setiap kali mengikuti outing .

Henhen juga memaparkan ada banyak filosofi warisan leluhur yang mewarnai kehidupan warga Kampung Naga hingga saat ini. Salah satunya berbunyi ‘alam teh rawateun tur rumateun, lain ruksakeun’ yang memiliki pengertian ‘alam itu harus dirawat dan dipelihara, bukan dirusak’. Keteguhan menjalankan filosofi tersebut membuat Kampung Naga sampai saat ini terbebas dari musibah yang diakibatkan oleh bencana alam seperti tanah longsor, banjir, atau kekeringan.

[caption caption="Kampung Naga nan resik dan nyaman (dok RBP)"]

[/caption]

Hutan yang terpelihara baik dengan terus mewariskan konsep keberadaan ‘Hutan Larangan’ (hutan yang sama sekali tak boleh dieksplorasi dalam bentuk apapun bahkan meski sebatang pohon tua tumbang tercebur ke Sungai Ciwulan, misalnya, warga membiarkannya membusuk secara alami selama waktu yang panjang ke depan meski kalau mau mereka bisa menjadikan kayu berkualitas tinggi itu sebagai bahan bangunan; -pen.) dan ‘Hutan Keramat’ yang merupakan kawasan pemakaman para leluhur terbukti berhasil menjaga pasokan air di wilayah mereka. Saat padi-padi di wilayah lain meranggas dan puso, tanaman padi di Kampung Naga tetap ijo royo-royo bahkan saat kunjungan kemarin, sudah terlihat ada sebagian yang telah mulai berbulir.

Pancuran-pancuran bambunya pun tetap setia mengalirkan air siap minum (menurut penjelasan banyak sesepuh, higienitas air mentah di situ sudah teruji melalui serangkaian penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari Belanda, -pen.) yang dipasok langsung dari mata air di Gunung Cikuray. Prinsip persaudaraan dengan alam ini, menurut Henhen, juga berlaku saat ada ular dari Hutan Larangan nyasar ke pemukiman,”Selama hewan itu tidak menyerang manusia atau ternak, kami akan berusaha menangkap dan mengembalikannya ke Hutan Larangan tapi bila dia sudah melukai manusia atau ternak, jangan salahkan kami kalau harus membunuhnya.”Tutur salah satu pemuka adat itu,”Karena sekali saja dia sudah ‘mencicipi’ daging ternak atau manusia, bisa dipastikan dia akan kembali lagi dan melakukan hal yang sama.”

Nyamuk pun tak Nampak berseliweran di bangunan yang dominan berbahan dasar kayu dan bambu itu berkat filosofi tata kampung yang memisahkan ‘Tempat Kotor’ dan ‘Tempat Bersih’. Jamban yang berfungsi sebagai kamar mandi atau toilet dan kandang ternak besar dibangun terpisah dari kawasan hunian hingga tak ada genangan air atau aroma kandang yang berpotensi menumbuh-suburkan populasi nyamuk di rumah-rumah warga. Jadi begitulah pertemuan malam itu ditutup dengan foto bersama setelah para homeschooler  diwanti-wanti kalau akan ke jamban harus didampingi teman atau keluarga pemilik pondok tempat masing-masing kelompok menginap.

Setelah itu mereka pun beriringan kembali ke pondok-pondok kelompok dengan menapaki jenjang-jenjang bebatuan kali yang disusun dengan cara membenamkannya langsung ke tanah. Mereka melangkah dengan sangat hati-hati dalam kepekatan malam dengan bantuan penerangan dari lampu senter di tangan masing-masing. Yupz, warga Kampung Naga hingga saat ini memang masih ‘mengharamkan’ keberadaan listrik di wilayah mereka ….

 [caption caption="Mengasah konsentrasi dalam cahaya temaram (dok RBP)"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline