Lihat ke Halaman Asli

Terapi Bicara Untuk Orang-orang Spesial

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13708502081228928946

“Sesungguhnya Allah Swt itu mengamanahkan anak-anak istimewa pada orangtua yang istimewa juga...” Papar Agus Basuki Yanuar, salah seorang founder Rumah Belajar Persada, saat memberikan sambutan dalam Semiloka Terapi Bahasa dan Aplikasinya pada Sabtu (8/6) lalu bertempat di RBP Jatibening, Bekasi.

Anak-anak istimewa yang dimaksudkan oleh Agus adalah anak-anak yang diberkahi lahir atau tumbuh dalam kondisi mengalami autism (suatu kondisi yang menimpa seseorang sejak lahir atau di masa balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau berkomunikasi secara normal dengan orang lain hingga menyebabkan dirinya terisolasi dan masuk dalam dunia repetitive dengan minat dan aktifitas yang obsesif, -pen.), cerebral palsy (kelumpuhan otak yang menyebabkan anak mengalami kesulitan yang sangat besar untuk dapat berjalan, bicara, makan, atau bermain sebagaimana anak-anak sebayanya yang normal, -pen.), atau down syndrome (kondisi keterbelakangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan oleh adanya abnormalitas perkembangan kromosom, -pen.)

13708503602019792165

Kesulitan dalam berinteraksi sosial semacam itulah yang merupakan tantangan bagi seorang terapis wicara untuk menemukan metode yang pas guna merangsang kemauan dalam diri anak-anak berkebutuhan khusus agar mau ‘membuka’ pintu komunikasi dengan orang-orang di luar dirinya sendiri. Itasari Attitungga A Md TW, seorang terapis wicara senior yang telah menjalani profesinya sejak 1995, mengemukakan bahwa semangat untuk terus menerus belajar dan mengeksplorasi metode terapi bagi para anak asuh haruslah terus dipelihara dalam diri seorang terapis agar tidak terperangkap dalam metode sejenis dalam jangka panjang hingga menimbulkan kejenuhan dan tidak efektif.

“Sekarang ini banyak terapis yang terjebak dalam rutinitas menggunakan Terapi Artikulasi secara pukul rata pada semua anak asuh tanpa memperhatikan kebutuhan atau kondisi spesifik individualnya.” Tutur Ita seraya memberikan illustrasi bahwa metode itu dilakukan dengan cara memberikan semacam ‘rangsangan’ pada alat-alat bicara anak asuh dengan melakukan penyikatan lembut atau memberikan buah/makanan cair tertentu pada bagian dalam mulut agar anak terdorong untuk mengucapkan suku-suku kata,”Jadi anak duduk lalu digosokkan irisan semangka, misalnya, pada bagian langit mulut lalu dibujuk menirukan terapisnya mengucapkan ‘ba’, ‘tu’, dan seterusnya sesuai kata yang ingin diperkenalkan.”

Hal tersebut di atas terjadi karena relatif lebih mudah dilakukan ketimbang metode-metode lainnya,”Apalagi banyak terapis yang modalnya hanya ikut satu-dua kali seminar tentang Terapi Bicara lalu langsung praktek menerima klien hingga pengetahuan maupun pemahamannya sangat terbatas, padahal terapi untuk anak-anak berkebutuhan khusus itu merupakan proses panjang yang membutuhkan multi terapi dengan multi metode.” Namun Ita bisa memahami hal itu sebagai konsekuensi tingkat kebutuhan yang sedemikian besar tak sebanding dengan jumlah lulusan yang dihasilkan oleh Akademi Terapi Bicara milik pemerintah yang kini tersebar di tiga kota, yakni Jakarta, Solo, dan Bandung.

1370850500962975471

Ita, dalam makalahnya, mengungkapkan bahwa trend terbaru dalam Terapi Bahasa adalah berfokus pada komunikasi dalam interaksi sosial dan saling berbagi informasi antar pelaku (terapis dan anak asuh, -pen). Para pendukung metode yang dikenal dengan Pendekatan Pragmatis ini merancang aktifitas terapi dengan menghadirkan realitas bahasa sehari-hari dan diharapkan dapat membawa anak pada situasi komunikasi kehidupan nyata.

Semiloka yang terdiri atas dua sesi, pemaparan makalah Ita dan diskusi kelompok seputar praktek metode terapi, itu direncanakan akan berlangsung rutin dengan tema yang progresif sesuai dinamika yang terjadi dalam penanganan anak-anak berkebutuhan khusus. Ita juga menambahkan bahwa Terapi Bicara ini juga diperlukan bagi mereka yang pernah mengalami stroke dan terkena Afasia (ketidakmampuan atau kesulitan berbicara).

Secara khusus, Ita mengingatkan bahwa bagi anak-anak berkebutuhan khusus maupun para penderita stroke, selain pemilihan metode terapi yang tepat juga dibutuhkan dukungan dari orangtua maupun keluarga,” Sesi terapi itu paling hanya satu jam dengan frekuensi tiga kali seminggu, selebihnya klien akan lebih banyak berada dalam lingkungan keluarganya dan diharapkan orangtua/anggota keluarga lain dapat mengamati proses terapi lalu melanjutkan dengan model yang sama di rumah.” Dan faktor inilah yang justru menjadi faktor cepat-lambatnya kemajuan kondisi bicara klien,”Banyak orangtua beranggapan bahwa setelah membayar terapis dan memastikan jadwal terapi diikuti, selanjutnya tinggal menunggu hasil.”

Padahal Terapi Bicara maupun terapi-terapi lainnya merupakan sebuah proses jangka panjang yang membutuhkan kerjasama antara terapis dan orangtua/keluarga. Tuntutan hasil yang instan hanya akan memicu timbulnya kasus abusif (tindak kekerasan/pemaksaan, -pen.) yang dapat memperburuk kondisi anak.

1370851143581394258

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline