Sejumlah anggota Panitia Khusus Hak Angket atau Pansus Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkonfrontasi pendapat pakar hukum tata negara Prof. Mahfud MD.Terkait dengan posisi KPK dengan bergulirnya angket dari Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, terjadi perbedaan pendapat dalam memandang posisi KPK sebagai pelaksana undang-undang.
Anggota pansus dari fraksi PDI Perjuangan lainnya, Henry Yosodiningrat, bahkan mempertanyakan pendapat Prof. Mahfud MD. Jika KPK menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, Henry mempertanyakan, "Kalau DPR dianggap tak berwenang, lantas siapa yang bisa mengawasi KPK?" kata Henry di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18 Juli 2017.
Ditambahkan Henry, Tim Pansus sepakat KPK merupakan lembaga negara penunjang yang dibentuk berdasarkan UU. "Terlepas dari teori, perbedaan pendapat adalah Rahmat, semoga kita bisa lebih dekat dengan kebenaran."
Namun demikian, lanjut Henry, banyak prinsip hukum yang dilanggar KPK. "Publik banyak yang tidak tahu. Semua orang menganggap orang yang sudah diperiksa KPK dianggap bersalah. Tidak ada kebenaran formil, kebenaran sejati," kilah Henry.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Henry Yoso, Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK ada yang dalam prakteknya orang disuruh, dibawa ke suatu tempat lalu digrebek.
Terkait itu (pelanggaran KPK, Red) dan menanggapi Prof. Mahfud, Henry menilai, Hak Angket adalah hak tertinggi yang dimiliki DPR. Jika Pansus ditolak untuk menyampaikan Hak Angketnya kepada KPK, "Lalu hak mana lagi yang kita pakai? sampai saat ini DPR ini isinya bandit, kata masyarakat yang tidak mengerti," kesal Henry.
Anggota Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, berpendapat sebagai pelaksana Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga antirasuah itu bisa diangket, berlawanan dengan pendapat Prof. Mahfud MD, "Siapa pun yang menjadi pelaksana UU, secara yuridis, terbuka untuk bisa diangket," kata Asrul.
Dalam rapat dengar pendapat umum dengan pansus, mantan Ketua MK Mahfud Md. mengatakan bergulirnya hak angket terhadap KPK tidak tepat. Sebabnya, kata Mahfud, pengajuan hak angket oleh DPR harus menyasar pemerintah sebagai lembaga eksekutif.
Ia berpendapat KPK menjalankan fungsi yudikatif yang memiliki kekuasaan kehakiman. "Sangat salah jika KPK dikatakan koasi eksekutif. Kalau mau dikoasikan KPK itu koasi yudisial," ujarnya. "Enggak ada satu pun tugas di KPK yang bersifat kepemerintahan," kata dia.
Pernyataan ini juga mengundang perdebatan anggota pansus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arteria Dahlan. Arteria berpendapat KPK dapat menjadi obyek hak angket lantaran posisinya sebagai lembaga negara yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara. "KPK juga mitra komisi III dan tunduk dengan mekanisme di DPR," ujar dia.
Ia pun menyatakan bergulirnya hak angket adalah legal dan konstitusional terhadap lembaga KPK yang independen dalam tugas pokok dan fungsi penegakan hukum. "Dalam penegakan hukum pun DPR juga tidak pernah mengganggu KPK," kata Arteria.