Lihat ke Halaman Asli

Ini Usulan Henry Yoso Agar KPK tak Lagi Langgar Kewenangan Hukum

Diperbarui: 10 Februari 2016   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Anggota Badan Legislasi DPR RI H. KRH Henry Yosodiningrat, SH. mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebuah keharusan. 

Menurut dia, ada beberapa ketentuan dalam UU KPK telah menabrak asas-asas hukum. Dijelaskan Henry, beberapa ketentuan dalam UU KPK yang lama dianggap menabrak asas hukum diantaranya seperti Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh KPK. 

“Dengan demikian maka Jaksa bertindak mewakili KPK. Ini suatu hal yang bertentangan dengan asas-asas yang berlaku secara universal di seluruh dunia. Bahwa jaksa itu bertindak mewakili negara,” kata Henry di Gedung DPR, Jakarta, Selasa sore (9/2/2016). 

Selain itu, disebutkan dalam UU KPK yang lama, Pimpinan KPK sebagai pejabat negara harus mencerminkan sikap negarawan. "Tapi tidak cengengesan seperti yang kita lihat ketika Pimpinan KPK yang dulu menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, seperti main-main dan seolah sedang melakukan penghinaan terhadap seorang Perwira Tinggi Polri. Sebagai Bangsa Indonesia, saya malu melihat prilaku Pejabat Negara seperti itu, tidak mencerminkan sikap sebagai Negarawan." 

Usulan Henry lainnya terkait Revisi UU KPK adalah pembentukan lembaga baru yang khusus menangani bidang pencegahan. Hal itu agar KPK fokus untuk memberantas korupsi. 

Kemudian, lanjut Henry, dalam UU KPK Tahun 2002 menegaskan bahwa Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum seperti yang tertuang dalam Pasal 21 ayat 4. “Saya pikir ini sudah kebangetan Pasal ini. Untuk menjadi penyidik itu ada syaratnya. Penuntut umum yang menetapkan itu negara, dalam hal ini Jaksa Agung. Setiap jaksa, orang yang masuk di Kejaksaan untuk menjadi Jaksa harus melalui pendidikan dulu, setelah melewati pendidikan-pendikan jenjang dulu baru ia bisa menjadi Jaksa Penuntut Umum,” ujarnya. 

Jadi kalau seorang pimpinan KPK yang tidak jelas latar belakang atau pendidikan hukumnya ditetapkan sebagai penyidik dan penuntut umum, ini kebangetan. Kemudian, tambah Henry, hukum acara juga harus kembali ke KUHAP. Meskipun ia dikatakan extra ordinary, inilah yang membuat KPK menjadi super power. Terkait usulan menambah kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Menurutnya, KPK dalam menetapkan seorang tersangka hanya berdasarkan bukti permulaan. 

“Ketika putusan Pengadilan Tipikor "tidak memuaskan" sering kita lihat KPK dan kita dengar "KPK Banding" terhadap putusan itu. KPK iki opo toh? Kalau penyidik tugasnya selesai setelah perkara dinyatakan Penuntut Umum P21 dan dilanjukan dengan Pelimpahan tahap II. Dalam hal seperti itu semestinya Jaksa yang banding, ini kok KPK yang banding? Ini membuat terjadi salah kaprah dan berakibat sesat Peradilan sesat. Tugas Jaksa bukan untuk melihat seorang terdakwa dihukum tapi melihat bagaimana keadilan itu ditegakkan," jelas Henry Yoso. 

Tegasnya, lanjut Henry, kalau berdasarkan fakta-fakta di persidangan ternyata menurut Jaksa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, Jaksa harus berani menuntut bebas, persoalannya mengapa Jaksa tidak berani menuntut bebas, karena dengan sudah menyatakan P21 berdasarkan benda-benda mati berupa berkas perkara, dianggap bahwa Jaksa yang bersangkutan sudah memastikan bahwa ia pasti dapat membuktikan dakwaannya. Sehingga Jaksa tidak boleh menuntut bebas. Jaksa lupa bahwa berkas perkara yang berisi kumpulan berita acara dan berisi keterangan saksi yang dianggap sebagai bukti itu tidak lebih dari sekedar pedoman dalam memeriksa perkara. Karena keterngan saksi dan keterangan ahli serta keterangan terdakwa adalah apa yang ia nyatakan di muka sidang (bukan dalam berkas perkara, semua isi berita acara bisa berubah di muka sidang). 

Henry berpendapat, pihak KPK sudah terlalu sering menyalahgunakan dengan berdalih "diskresi" atau kewenangan, misalnya dalam konteks penahanan tersangka. Sebab, mereka lupa bahwa pada dasarnya SETIAP ORANG TIDAK BOLEH DITAHAN, kecuali orang yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan diamcam pidana 5 tahun atau lebih atau melakukan perbuatan sebagaimana dikecualikan dalam ketentuan pasal 21 ayat (4) KUHAP. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline