Lihat ke Halaman Asli

Menakar Kemana Arah Reformasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Reformasi tahun 1998 merupakan cikal bakal lahirnya ekspresi kebebasan warga negara, setelah dikungkung, direpresi bahkan diculik oleh rezim otoriter-totaliter selama 32 tahun lamanya. Partisipasi masyarakat dalam proses politik tidak dilibatkan sepenuhnya, diabaikan, di acungkan malah ditenggelamkan ruang politik warga masyarakat. Kekuasaan yang begitu terpusatkan di tangan soeharto, memungkinkan presiden berkuasa sewenang-wenang memperkaya diri sendiri serta para kroni-kroninya.

Namun kekecewaan yang berlebihan sudah tak dapat terbendungi lagi oleh pemanis bibir dan sabda tuhan sekalipun. Sehingga mahasiswa turun kejalan-jalan, untuk menuntut diturunkan soeharto. Munculnya riakan-riakan protes mahasiswa didepan gedung parlemen yang berbuntut bentrok dengan aparat kepolisian dan militer, sehingga menimbulkan korban terbunuhnya mahasiswa. Setelahnya itu soeharto berpidato pengunduran dirinya dan meletakan jabatannya ke wakil presiden B.J Habiebie.

Reformasi bukan didapatkan begitu saja dengan berleha-leha atau menggerutu saja didepan televisi, namunreformasi diraih dengan gerakan perjuangan dan perlawanan yang cukup intensif melibatkan berbagai macam element. Sehingga membuahkan hasil yang kita nikmati bersama-sama hari ini, walaupun proses perjalanan reformasih masih tertatih-tatih dan di isi oleh kebanyakan orang-orang dekat cendana. Namun Inilah pekerjaan rumah generasi sekarang untuk memperbaiki agenda besar reformasi, dengan mengembalikan roh reformasi.

Mahasiswa adalah individu yang memiliki wawasan luas serta memiliki keahlian untuk menciptakan inovasi baru, dengan bekal ilmu pengetahuan di kampus dan ditempa oleh pengalaman di organisasi menjadikan ia seorang yang mengetahui segala sesuatu. Mereka belajar menginterpretasi alam dalam kehidupan, guna memberikan kontribusi real dalam kehidupan sehari-hari.

Melihat generasi pertama sejaman dengan bapak proklamator indonesia Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, M Natsir, Agus Salim dll. mereka memiliki banyak ide, gagasan dan aksi besar dalam mendesain indonesia raya dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan-gagasan mereka tulis dalam bentuk buku dan artikel untuk kemudian di sebarkan ke seluruh indonesia, menjadi sebagai suatu khasana warisan intelektual bangsa.

Forum-forum diskusi mereka hidup walau keadaan masih dalam penjajahan kolonial belanda dan jepang. Forum diskusi tersebut di antaranya club diskusi asrama cikini, menteng raya merupakan ruang aktualisasi diri dalam mempersiapkan diri menjadi pionir bangsa dan negara. Dari forum diskusi tersebut mereka mampu melahirkan karya besar, dan perdebatan-perdebatan ideologis yang sangat mencengangkan untuk di pelajari. Sebagai contohnya kita dapat membaca sejarah proses penggodokan dasar negara yang diwakili golongan tua dan golongan muda pada saat rapat BPUPKI dan PPKI dalam merumuskan ideologi pancasila.

Kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi mahasiswa hari ini yaitu sungguh “memiriskan, mengecewakan dan absurditas”. Mahasiswa seharusnya menjadi pribadi-pribadi yang dapat memberikan kontribusi pemikiran dan tindakan sebagai suatu upaya untuk membangun indonesia raya. Menjadi negara besar dan dapat diperhitungkan oleh negara lain, terutama negara-negara tetangga. Membangun “indonesia bisa” tentunya bukan suatu slogan belaka, namun dengan tekad yang kuat semangat berapi-api tanpa kenal lelah semuanya pasti dapat dilalui dengan terencana. Semangat tersebut harus tetap dipupuk dan diwariskan ke generasi berikutnya, agar dapat mencapai cita-cita besar.

Melihat kehidupan mahasiswa dikampus-kampus sudah tak searah lagi dengan label-label kemahasiswaan, yang dipikul selama ini. Tradisi mahasiswa sama sekali sudah dilupakan bahkan menjadi barang yang langkah di temukan dikampus. Seorang teman diskusi pernah mengatakan bahwa “mencari forum diskusi dikalangan mahasiswa sama susahnya dengan mencari tuhan”. Penggambaran ia tentang mahasiswa bukanlah sesuatu yang tidak berdasar, namun berangkat dari pengalamannya sehari-hari melihat aktifitas mahasiswa sudah tidak mementingkan lagi diskusi-diskusi. Padahal salah satu tradisi mahasiswa adalah berdiskusi untuk memperkaya khasana intelektual, dan memperbanyak referensi dan bahan bacaan lainnya.

Diskusi sudah tidak lagi menarik dan seksi bahkan di anggap sebagai barang jadul dan dilupakan. Kalaupun ada mahasiswa yang berkumpul dipelataran kampus sesama mahasiswa, itu bukan mereka sedang berdiskusi tentang mata kuliah ataupun hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama. Akan tetapi mereka sedang berbicara tentang flem baru yang akan segera dirilis dibioskop, tempat nongkrong malam minggu, diskotik, pakaian model baru dan lain sebagainnya. Budaya konsumerisme sudah menjalar jauh kedalam kesadaran mahasiswa, sehingga mata hatinya tertutup rapat.

Awal tahun 90-an kebawah kita masih menemukan mahasiswa dengan semangat yang begitu tinggi, membentukk forum-forum diskusi dipelataran kampus-kampus. Bahkan kita masih bisa memilih forum diskusi mana yang menurut kita sesuai dengan kebutuhan kita, sebab forum diskusinya begitu banyak. Semangat tersebut tak pernah padam walau secara politik keadaan indonesia masih dibawah rezim soeharto, yang menganggap adanya kelompok-kelompok mahasiswa yang sedang berdiskusi di anggap sebagai kegiatan yang mengancam konstelasi politik orba.

Tidak jarang mereka dicurigai, di intel bahkan dibubarkan secara paksa dengan dalil-dalil yang tidak berdasarkan bukti dan fakta objektif. Oleh karena penguasa begitu kuat menggunakan peralatan negara seperti polisi dan militer sebagai alat merepsi mahasiswa. Namun kesadaran mahasiswa berasal dari dasar sanubari yang paling mendalam, sehingga apapun resikonya menjadi tanggung jawab sendiri. Para aktifis 90-an memiliki wawasan keilmuan bagitu luas, serta pengalaman hidup yang mumpuni. Banyak hal yang mereka tinggalkan untuk generasi selanjutnya, seperti buku-buku yang dihasilkan melalui tangan-tangan dinginnya. Ada satu ungkapan yang yang pernah penulis ingat bahwa dalam generasi tersebut paling tidak harus melahirkan karya untuk penerusnya sebagai bahan bacaan sejarah. Sebab dengan menulis dan menerbitkan buku maka tugas mereka telah selesai, tinggal kita membaca buah pikirannya.

Lalu yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi kedepan, sebagai buah dari hasil pikiran. Mungkin kita akan bertanya-tanya dan bingung, mau kita tinggalkan apa. Sebab melihat realitas kekinian reproduksi pengatahuan sudah tidak bersinergis lagi dengan status mahasiswa. Lalu dengan cara apa kita bisa memberikan sumbangsi kepada mereka kalau bukan dalam bentuk karya dan inovasi.

Mahasiswa sebagai harapan besar bangsa ini, ditangan mereka nasib bangsa kita dipertaruhkan. Kalau hasil produksi kampus sudah tidak lagi memiliki greget dalam upaya membangun indonesia raya, kepada siapa lagi bangsa ini bisa berharap. Kita sudah capek menjadi bangsa dunia ketiga, di anggap negara berkembang yang tidak pernah maju-maju dari dahulu kala. Baik dari segi ilmu pengatahuan dan teknologi (Iptek) maupun karya-karya besar seperti para pandahulu kita.

Wajar saja kalau sebagian dari sumber daya alam maupun sumber daya manusia kita, menjadi jarahan bersama negara maju. Kita dieksploitasi besar-besaran tanpa mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, dijajah secara pengatahuan melalui sistem pendidikan, hukum, sosial politik, budaya dan lain sebagainya. Negara dengan berbagai kekayaan sumber daya, justru menjadi malapetaka. Buruh-buruh murah, sarjanawan pengangguran, masalah sosial sudah menjadi menu makanan sehari-hari. Mungkin kita harus berpikir dan bertindak ekstra agar menjadi besar dan membawa indonesia raya yang dapat dibanggakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline