Irama musik kendang kempul terus menghentak. Penyanyi yang bajunya tampak terlalu sempit itu tidak kenal lelah terus bergoyang, walaupun dengan suara yang tidak bagus-bagus amat. Di bawah panggung, ratusan penonton seolah tersihir untuk ikut berjoget dan berdesak-desakan. Sudah bisa dipastikan, keesokan harinya anak-anak kampung tidak bisa bermain bola. Lapangan menjadi lautan sampah, rumputnya pun tercerabut amburadul.
Di ujung sana, tampak seorang remaja pria mendekap pacarnya dengan mesra. Kena sorot temaram lampu petromaks dari gerobak tukang kacang goreng, wajah si perempuan tersipu malu. Setelah saling berbisik, keduanya bergandengan tangan menuju gedung temaram di seberang.
Gedung itu rupanya bekas sarana olahraga. Bekas kolam renang dengan menara loncat yang hampir ambruk ada di sisi kiri. Di sayap kanan, garis-garis samar menunjukkan kalau di situ dulu mestinya orang bermain bulutangkis. Mereka menuju ruang tengah yang bersekat-sekat. Mungkin bekas tempat tidur atau kamar mandi atlet. Makin mendekati tujuan, suara-suara yang bisa membuat jantung berdesir menandakan kalau bangunan itu tidaklah sepi. Bekas bungkus Durex, Fiesta, dan macam-macam merk lain berserakan di lantai. Kaki si pemuda tidak sengaja menendang sesuatu, rupanya bekas botol minuman. Suara botol kaca yang bergelontangan membuat ada yang melongok. Tampak jelas dari ekspresi wajahnya kalau ia sedang berada dalam pengaruh alkohol. Di belakangnya terlihat kaki seorang perempuan. Dua orang pemuda itu hanya saling tersenyum setelah bersitatap, seolah telah paham maksud masing-masing.
***
Sepasang kekasih itu adalah teman-temanku sekolah, belasan tahun yang lalu. Pasangan-pasangan yang lain, meskipun bukan kawan bermain, bisa jadi aku kenal mukanya kalau bertemu di jalan, karena kampung kami memang kecil. Si perempuan, waktu kelas dua SMA hamil. Pacarnya ingin supaya kandungannya digugurkan. Selepas ashar, masih berpakaian seragam putih abu, dia terisak di boncengan sepeda motor. Di dalam tasnya ada mayat anaknya terbungkus plastik.
Peristiwa semacam itu, sudah terlalu sering didengar. Seorang siswi pernah membuat heboh orang sekampung. Di ritual malam minggu sebuah geng, perempuan itu menjadi joki, istilah untuk orang yang bertugas untuk menuangkan minuman keras. Tidak jarang, perempuan muda belia itu kemudian digilir. Cerita itu menyebar dari mulut ke mulut. Warga-warga senior pun gusar. Namun karena tidak pernah ada bukti, sulit untuk menindaknya.
***
Apakah kampungku sarang mesum? Tidak juga. Kampung itu merupakan basis NU yang kuat, sebuah pesantren dari dulu beroperasi di sana. Masjid dan mushola pun sedemikian banyaknya hingga kalau tiba waktu sholat, suara adzan yang bersahut-sahutan saling mengalahkan. Yang lebih penting lagi, perlu diingat bahwa tingkah laku yang tidak pantas semacam itu sebenarnya tidak banyak. Mungkin tidak sampai tiga puluh persen dari anak-anak yang berbuat sedemikian. Namun karena tergolong sebagai perbuatan yang tercela dan menghebohkan, sekalinya ada yang berbuat semacam ini, seolah seisi kampung terkena getahnya.
Tidak adakah kontrol sosial di kampung? Menurutku, warga kampung adalah orang-orang yang sangat peduli. Sejak dulu, orang-orang selalu menindak tindakan yang tidak senonoh. Tidak melalui sweeping ugal-ugalan seperti salah satu ormas berbasis agama itu, di desaku orang baru bertindak saat sudah ada kecurigaan. Misal dulu bapak sempat ikut “tim penggerebekan”. Pasalnya, setelah sekian lama, seorang pemuda sering sekali datang ke rumah seorang perempuan yang suaminya merantau ke luar negeri. Alasannya menjual beras. Namun menjual beras, apakah perlu dengan menutup korden? Saat disergap oleh warga, ternyata memang benar kalau mereka sedang mesum. Seperti seorang tikus, si tersangka pria bersembunyi di langit-langit rumah.
Walaupun tidak berpendidikan, orang-orang desa itu bijaksana. Tidak pernah tersangka yang baru tertangkap digelandang atau dihakimi di jalanan umum. Hukuman semacam itu, amatlah membekas bagi merosotnya harga diri. Biasanya tersangka langsung dibawa ke balai desa. Disitu diputuskan seperti apa hukumannya. Umumnya mereka disuruh untuk kerja sosial, misal mengeraskan jalan desa yang berlumpur (Jawa: nggrasak). Tidak hanya bijaksana, tapi juga adil. Pernah anak perempuan kepala desa tertangkap. Hukuman pun tetap diberikan tanpa terkecuali.
Usaha untuk membenahi moral pun tidak kurang-kurang. Sejak kecil, anak-anak dikirim mengaji ke surau selepas maghrib. Jarang ada remaja yang tidak pandai membaca kitab suci. Kiai-kiai pun tidak kurang-kurang memberikan berbagai wejangan dalam berbagai khutbahnya.