Suhu politik tanah air semakin memanas paska Pemilu Legislatif 9 April kemarin.Begitu banyak partai yang mengalami konflik internal berkaitan dengan hasil perolehan suaranya masing-masing.Sebut saja PPP yang mengalami konflik besar antara 27 DPW dengan Ketua Umumnya dimana 27 DPW menginginkan Suryadharma Ali dilengserkan dari jabatannya karena lebih mementingkan Gerindra daripada PPP. Sebaliknya SDA malah memecat 4 ketua DPW dan 1 Wakil Ketua Umumnya.
Lalu di kubu internal Golkar ada suara-suara yang menginginkan diadakannya Rapimnas dengan agenda untuk mengevaluasikan pencapresan ARB yang ternyata membawa perolehan suara Golkar jauh dari harapan. Begitu juga dengan PKB dimana suaranya melonjak tinggi tetapi akhirnya begitu banyak faksi didalam partai tersebut sehingga terlalu sulit bagi elite PKB untuk memutuskan akan berkoalisi dengan siapa.
Selain beberapa partai yang mengalami konflik internal ada juga partai yang semakin beringas dalam menyerang lawan politiknyayang membuat suhu politik tanah air semakin panas. Dan berbicara tentang partai yang selalu menyerang lawan politiknya, tak lain tak bukan adalah Gerindra yang dalam minggu-minggu terakhir terus-terusan melancarkan serangan kepada Jokowi sebagai Capres dari PDIP. Mulai dari Elite Politiknya di DPP seperti Fadli Zoon yang hampir setiap hari membuat puisi dan membuat opini-opini negative kepada Jokowi, begitu juga dengan fraksi Gerindra di DPRD DKI yang selalu mengomentari negative tentang apa-apa yang dilakukan Jokowi.
Rupanya Gerindra lebih asyik menyerang Jokowi dibanding berkonsentrasi membangun koalisinya untuk menghadapi Pilpres nanti. Ini sangat disayangkan karena bisa saja gara-gara asyik menyerang orang lain mereka menjadi lupa dengan tugasnya didepan mata untuk mencari rekan koalisinya.
Berbeda dengan Jokowi yang tidak menginginkan koalisi bagi kursi menteri, Gerindra disebut-sebut akan mengobral/ membagi-bagi kursi kepada rekan koalisinya. Tetapi kalau hanya membuat statement demikian tanpa melakukan negoisasi politik tentu siapapun yang berkeinginan berkoalisi dengan Gerindra juga menjadi maju mundur menunggu kepastian.
Ketika PDIP sudah menyatakan resmi berkoalisi dengan partai Nasdem, Gerindra yang dianggap sebagai saingan terdekatnya berkaitan dengan elektabilitas yang dimiliki Prabowo malah belum terdengar sama sekali kepastiannya untuk berkoalisi dengan satu-dua partai.
Bahkan hari ini yang terdengar keras Gerindra sedang mempertimbangkan tawaran PKS yang mengajukan Cawapres Ahmad Heriyawan (gubernur Jawa Barat). Padahal menurut pengamatan pakar politik, PKS adalah partai yang paling sulit dilirik oleh calon rekan koalisinya karena PKS disebut sebagai partai yang paling tidak konsisten.
Koalisi Alternatif Bisa Saja Terbentuk.
Selama seminggu terakhir ini banyak orang hanya memperhitungkan 3 poros koalisi saja yaitu koalisi PDIP, koalisi Gerindra dan koalisi Golkar.Hampir semua orang tidak berbicara tentang koalisi yang mungkin bisa saja dibangun oleh partai Demokrat.
Partai Demokrat meskipun hanya mendapatkan perolehan suara sekitar 9,8 persen sebenarnya tidak boleh dianggap enteng. Mereka menguasai pemerintahan selama 10 tahun terakhir dan mempunyai tokoh sekaliber SBY.Pastilah Demokrat mampu melakukan lobi-lobi yang mempengaruhi peta perpolitikan tanah air.
Dan melihat dari statement-statement yang dikeluarkan oleh elite Demokrat dalam 2 hari ini dimana baik SBY maupun ketua panitia Konvensi Demokrat, Mangindaan mengatakan Konvensi Demokrat jalan terus dan tetap memproses seleksi terhadap Capres dari Demokrat.
Ditambah lagi dari ocehan Ruhut Sitompul yang mengatakan bahwa SBY masih memiliki Kunci Besar untuk wajah politik Indonesia tentu tidak ada salahnya bila kita mencermati gerakan-gerakan dari Demokrat dan SBY.
Hal ini bisa berarti bahwa partai Demokrat yang hanya mempunyai 9,8 persen suara telah mencoba membangun koalisinya dengan partai-partai menengah. Sebut saja PAN, PKB, PPP dan PKS yang selama 10 tahun terakhir telah bekerja sama dengan partai Demokrat. Dan itu adalah hal yang sangat mungkin.
Bila kita mencoba menghitung kemampuan Demokrat yang dalam hal ini dengan suatu anggapan bahwa SBY bisa menarik 2 partai menengah, sebut saja PAN dan PKB maka terjalinlah koalisi dengan suara : Demokrat 9,5% + PKB 9% + PAN 7,5% = 26 Persen. Sudah cukup untuk memenuhi angka Presidential Treshold dan Demokrat bisa mengusung Capresnya sendiri. Apalagi kalau Demokrat bisa ‘menculik’ PPP dan PKS tentu bisa menjadi kekuatan yang sangat besar.
Disisi lain PDIP dan Nasdem mungkin sudah definitive berkoalisi dengan angka Presidential Treshold sekitar 25,5 persen. Jadi sudah tercipta 2 kubu koalisi yaitu Demokrat dan PDIP.
Berikutnya adalah partai yang paling berpengalaman selama 40 tahun terakhir siapa lagi kalau bukan partai Golkar.Golkar pasti sangat mampu menjalin komunikasi dan berkoalisi dengan siapapun. Dan menurut kabar yang beredar Hanura dan PKS cukup nyaman dengan Golkar.Dan bila dihitung jumlah angka perolehan suaranya kurang lebih, Golkar 14,2% += PKS 6,5% + Hanura 5,4% = 26,1 persen. Sudah memenuhi angka Presidential Treshold.
Lalu bagaimana dengan Gerindra yang hanya memiliki pilihan PPP,PKPI dan PBB?Suara dari keempat partai tersebut kalau dihitung-hitungtidak akan mencapai25 persen dan kemungkinannya hanya berkisar di angka 21-22 persen. Dan hal tersebut bisa sajamenyebabkan Prabowo tidak bisa menantang Jokowi dan ARB di Pilpres Juli mendatang.
Dan kalau itu memang sampai terjadi maka itu adalah kesalahan Gerindra sendiri.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H