Sebagaisalah satu Kompasianer yang terdaftar sejak tahun 2009 dengan status terverifikasi, saya terpanggil untuk bersuara dan mencoba memberanikan diri untuk menulis sanggahan kepada para pakar hukum yang hebat-hebat yang ada di kubu Prabowo-Hatta .
Dengan berbekal wawasan yang saya miliki sebagai seorang Kompasianer selama 5 tahun ini (meskipun jarang menulis), dengan logika-logika umum yang saya miliki, saya ingin menggugat atau lebih tepatnya menyanggah Pendapat-pendapat Para Saksi Ahli dari Tim Advokasi Prabowo-Hatta yang disampaikan di sidang MK kemarin siang tanggal 15 Agustus 2014.
Sekali lagi sanggahan ini tidak dalam bahasa hukum melainkan berdasarkan logika secara umum.
A.PENDAPAT PAKAR HUKUM TENTANG MKJANGAN BERFUNGSI SEBAGAI KALKULATOR.
Terus terang saja, Pendapat ini baru saya dengar menjelang akan diadakannya Sidang PHPU Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi. Dan yang menarikadalahpendapat-pendapat seperti ini hanya dikeluarkan oleh para ahli hukum yang berada di kubu Tim Advokasi Prabowo-Hatta.Lalu Salahkah pendapat tersebut?
Saya bukan orang yang berlatar hukum sehingga saya hanya akan berbicara atau berpendapat sesuai logika umum saja.
Bila saja pendapat itu dikeluarkan oleh seorangAhli Hukum yang bukan Tim Advokasi Prabowo-Hatta dan bukan sekedar pendapat menjelang Sidang PHPU Pilpres 2014, bisa jadi pendapat tersebut cukup baik. Perkara bahwa pendapat tersebutbenar atau tidak, sudah seharusnya memerlukan kajian hukum dari para pakar hukum.
Yang pasti menurut logika umum bila pendapat tersebut adalah saran untuk Mahkamah Konstitusi bisa dikatakan pendapat tersebut adalah cukup baik dan konstruktif. Mahkamah Konstitusi adalah Mahkamah Peradilan untuk hal-hal yang berkaitan dengan Konstitusi.Seperti halnya perkara Uji Materil dari beberapa Undang-undang yang ada memang digugat dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini sudah tepat baik secara hukum maupunsecara logika umum.
Akan tetapi khususnya untuk Perkara Sengketa Pemilu, baik Pilkada, Pemilu Legislatif hingga Pemilu Presiden, Mahkamah Konstitusi secara logika sebenarnya memang harus berperan sebagai Pengadil dalam Perhitungan Perolehan Suara Pemilu.
Mengapa harus ada nama PHPU atau Perselisihan Hasil Pemiihan Umum?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) berwewenang untuk membuat suatu Ketetapan Hukum yang menetapkan Sepasang Calon peserta pemilu untuk Menjadi Pemenang Pemilu. (dalam hal ini disebut Presiden Terpilih). Dan ketetapan itu berdasarkan atasRekapitulasi Perhitungan Berjenjang yang dilakukan oleh KPU.
Dalam hal ini konteksnya adalah Pemenang Pemilu memangditetapkan berdasarkan Angka-angka Perolehan Suara. Dan selanjutnya, berdasarkan Logika yang dibangun untuk itu adalah : Bila terjadi perhitungan yang tidak sesuai, bila terjadi perhitungan yang curang, maupun terjadi perhitungan yang tidak sesuai dengan Undang-undang Pemilu, maka Ketetapan KPU dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Inilah Esensi dari Penyelesaian sebuah Gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang ditugaskan kepada Mahkamah Konstitusi.
Dan jangan lupa bahwa tugas ini sebelumnya adalah tugas dari Mahkamah Agung yang akhirnya dialih-tugaskan menjadi tanggung-jawab Mahkamah Konstitusi. Jadi sejak awal sejarahnya Perselisihan Hasil Pemilihan Umum memang benar-benar berkaitan utamanya dengan angka-angka Hasil perolehan Suara.Hanya saja angka-angka perolehan haruslah sesuai dengan perhitungan factual, tidak boleh terjadi kecurangan perhitungan maupun perhitungan yang tidak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
Kesimpulannya adalah MK sampai dengan saat ini berfungsi dan bertugas berdasarkan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang sudah ada.Istilah MK sebagai Kalkulator itu sangat berlebihandan sangat merendahkan MK.Sesuai dengan Judul Gugatan PHPU ya selama ini memang berkaitan dengan angka-angka. KPU juga menentukan pemenang pemilu dengan angka-angka, apakah KPU juga merupakan sebuah Kalkulator?
Kalau memang para Pakar Hukum menghendaki MK menangangi lebih dari sekedar Esensi PHPU nya seharusnya membuat usulan-usulan lagi baik ke MK maupun DPR untuk memfasilitasinya. Bukan dengan cara menekan saat ini ke MK dengan mengejeknya sebagai sebuah Kalkulator.
B.PENDAPAT MARGARITO KAMIS SANGAT SUBJEKTIVE
Mengutip berita Kompas.com siang tadi yang berjudul “Asal Ada Pelanggaran Pemilu Gugur” dikabarkan bahwa Saksi Ahli dari Prabowo-Hatta Margarito Kamis memberikannya kesaksiannya sebagai berikut :
Margarito mengatakan, selama ini ada anggapan keliru mengenai legitimasi pemilu bahwa pemilu baru akan dinyatakan runtuh saat ada pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif. Ia berpendapat bahwa anggapan itu keliru.
"Asal ada pelanggaran konstitusi, itu pelanggaran konstitusional. Pelanggaran itu menghilangkan konstitusi pemilu itu sendiri," kata Margarito dalam siding MK.
Jadi menurut Margarito, sebuah Pelanggaran pelaksanaan Pemilu meskipun tidak memenuhi unsur Terstruktur, Sistimatis dan Masif bila itu merupakan Pelanggaran Konstitusi maka Pemilu tersebut harus dinyatakan gugur.
Sanggahan saya, pendapat Margarito ini adalah pendapat yang sangat subjective sehingga tidak memiliki makna tunggal.Siapa yang dapat menilai sebuah pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran biasa ataukah sebuah pelanggaran Konstitusi? Atas dasar apa sebuah pelanggaran dapat disebut sebagai Pelanggaran Konstitusi maupun Pelanggaran biasa? Margarito Kamis tidak/belum mampu menjelaskan hal tersebut.
Selama ini Mahkamah Konstitusi sepengetahuan saya memang sudah memakai standar unsur Terstruktur, Sistematis dan Masif untuk menyatakan sebuah Pelanggaran dapat membatalkan Hasil Pemilu ataupun tidak. Unsur TSM untuk menghindarkan kejadian bahwa setiap pelanggaran dapat membatalkan Hasil Pemilu karena kalau hanya berpegang prinsip bahwa setiapada pelanggaran berarti pemilu tidak sah, entah berapa banyak Pemilu-pemilu yang sudah dilakukan di negeri ini bisa dianggap tidak sah atau Batal atau Gugur?
Jangankan Pemilu yang menyangkut kepentingan ratusan juta orang, permainan Sepak-bola saja mempunyai aturan-aturan untuk menetapkan pelanggaran beserta hukumannya.Tidak semua pelanggaran dalam pertandingan bola dihukum dengan Kartu Kuning atau Kartu Merah.Kalau setiap pelanggaran dihukum dengan Kartu Merah maka mungkin yang terjadi dalam pertandingan tinggal 2 Kiper dan Wasit saja.
Jadi sekali lagi pendapat bahwa Setiap pelanggaran konstitusi pada Pelaksanaan Pemilu dapat menggugurkan Hasil Pemilu adalah Pendapat yang terlalu Subjektive. Terlalu mudah bagi kita semua untuk menggugurkan sebuah Hasil Pemilu yang melibatkan ratusan juta masyarakat dengan biaya Trilyunan rupiah dengan satu alasan bahwa telah terjadi Pelanggaran Konstitusi. Apalagitidak ada standarisasi dengan istilah Pelanggaran Konstitusi.
Selanjutnya Margarito juga menilai, pemilih dalam daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) tidak sah karena tidak diatur dalam undang-undang. Menurut Margarito, jika DPKTb digunakan, maka penyelenggara pemilu tidak perlu lagi menggunakan data daftar pemilih tetap (DPT).
"Pertimbangan DPKTb adalah mempertimbangkan ketergunaan hak warga negara Indonesia dalam memilih. Kalau pertimbangannya itu, maka tidak perlu ada DPT. Asal memenuhi syarat usia dan WNI, bisa memilih," ujar Margarito
Sanggahan, menurut saya pernyataan Margarito tentang Pemilih dalam DPKtb Tidak Sah adalah sungguh-sungguh keliru. DPKtb sudah tercantum dalam Undang-undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Undang-undang ini sudah direvisi Mahkamah Konstitusi pada tanggal 6 Juli 2009 putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009yang memperbolehkan Pemilih dengan KTP atau Paspor atau Identitas Kependudukan lainnya berdasarkan Uji Materi yang dimohonkan Prof Refli Harun dan Maheswara Prabandono. Dan Revisi UU oleh MK ini yang dijadikan dasar Peraturan KPU tentang DPKtb,peraturan KPU No 26 Tahun 2013. Margarito harus membuka-buka lagi Peraturan KPU dan UU No.42 sebelum mengeluarkan pendapatnya.
Dan menurut saya, Margarito Kamis tidak paham tentang permasalahan Pemerintahselama ini tentang Data Kependudukan dimana hal ini sangat mempengaruhi ketidak-sempurnaan DPT yang dimiliki oleh KPU baik sejak KPU tahun 1999 hingga KPU Tahun 2014 yang ada saat ini.
Selain itu Margarito Kami lupa bahwa Hak Memilih dari setiap warga Negara adalah Hak Konstitusi. DPKtb dipergunakan sebagai wadah untuk menampung Hak Warganegara untuk memilih bilamana yang bersangkutan tidak ataupun belum terdaftar dalam DPT. Dan bila Margarito berusaha meniadakan atau mempermasalahkan DPKtb tanpa alasan yang tepat maka dapat dikatakan Margarito telah melanggar Konstitusi (menghalang-halangi Hak Konstitusi warganegara untuk memilih).
C.PENDAPAT IRMAN PUTRA SIDIN ADALAH DALIL BUMI HANGUS
Salah seorang Saksi Ahli yang dihadirkan Tim Advokasi Prabowo-Hatta adalah Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin. Dan mengutip Argumen Irman seperti yang diberitakan Indopolitika.com sepertinya pendapatnya tersebut terlalu berlebihan sehingga menyerupai Taktik Bumi Hangus.
Senada dengan pendapat Margarito Kamis diatas, Irman juga mengatakan Kecurangan Pemilu dalam bentuk apapun atau skala apapun merupakan Pelanggaran Hak Konstitusional.
“Yang pasti pelanggaran apa saja, apakah itu terstruktur, sistematis dan masif atau tidak, sesungguhnya sudah bisa jadi inkonstitusional, kalau hasilnya tidak sempurna dalam memenuhi hak,” kata Irman.
Menurut Irman, setiap warga negara berhak memberikan suaranya dalam pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Jika hak tersebut tidak terpenuhi maka pemilu dapat dianggap inkonstitusional.
Bila kita garis bawahi pendapat Irman Putra Sidin, Bila sebuah pelanggaran dalam Pemilu terjadi, meskipun Pelanggaran itu tidak terstruktur, tidak sistimatis dan tidak massif akan tetapi bila Hasilnya Tidak sempurna dalam memenuhi hak Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil maka Pemilu dapat dianggap Inkonstitusional (Tidak Sah).
Sanggahan, Wah kalau menurut saya, pendapat ini rasanya Terlalu Idealis. Bagaimana mungkin sebuah Pemilu dapat sempurna dengan memenuhi semua unsur-unsur itu? Ini bukan Pemilihan RT loh. Ini Pemilu yang melibatkan jutaan orang, ratusan ribu petugas penyelenggara dalam area ratusan ribu Km persegi.Bagaimana mungkin filosofi Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil bisa sempurna diterapkan pada sebuah Pemilu seluas Indonesia?
Kalau unsur Umum, Bebasdan Rahasia adalah istilah yang sudah belasan tahun kita dengar. Pemilu ya Pemilihan Umum dimana semua orang (umum) dapat memilih, Bebas ya bebas untuk menentukan pilihannya dan Rahasia ya memang rahasia karena pencoblosan berada dalam bilik suara.
Bila kita bayangkan bahwa dari 475.000 TPS terjadi 1.000 TPS yang melanggar 3 unsur itu, sebagai contoh Pemilu sistim Noken di Papua,. Dari hal tersebut apakah bisa dikatakan 474.000 TPS lainnya menjadi Inskonstitusional? Kalau demikian namanya Taktik Bumi Hangus.Setiap ada pelanggaran dalam skala apapun langsung dapat menyebabkan Pemilu Inkonstitusional.
Berikutnya tentang Jujur dan Adil, siapakah yang berkompeten menentukan kriteria itu? Bagaimana kalau salah satu Konstentan bersikukuh menyatakan Tidak Adil atau Tidak Jujur sementara fakta-faktanya tidak mendukung pernyataan tersebut, apakah Pemilu dapat disebut Inkonstitusional atau Tidak Sah?
Sekali lagi dalam hal ini, Irman Putra Sidin Terlalu Idealis. Terlalu idealis identik dengan tidak Realistis. Rasanya terlalu berlebihan kalau seorang yang mengaku Pakar Hukum Tata Negara tetapi berpikir tidak realistis.
Selanjutnya Irman Putra Sidin berlogika, unsur terstruktur, sistemastis dan masif, sudah tidak relevan lagi. Pasalnya dalam perkara konstitusi, pelanggaran terhadap hak satu orang warga negara dapat memiliki implikasi luas. Contohnya :
“Dalam pengujian konstitusional ketika satu orang warga negara merasa dirugikan hak konstitusionalnya, maka undang-undang itu bisa dibatalkan. Maka bukan aneh kalau dinilai melanggar konstitusi, hasil pemilu bisa dibatalkan,” ujar Irman.
Sanggahan, Logika ini sungguh berlebihan. Irman menyamaratakan konteks Hak Konstitusi seseorang yang mengajukan Uji Materil sebuah Undang-undang ke MK dengan konteks Hak Konstitusi warganegara untuk melaksanakan Pemilu.
Seseorang, dengan hak konstitusi yang dimilikinya memang berhak untuk mengajukankeberatan atau uji materi sebuah Undang-undang ke MK. Dalam hal ini orang tersebut mewakili dirinya sekaligus mewakili seluruh warganegara dimana bila dikabulkan implikasinya memang berlaku untuk seluruh warganegara.
Tapi sangat berbeda konteksnya dengan Hak Konstitusi dari seseorang warganegara untuk ikut dalam Pemilu dimana setiap orang yang akan ikut pemilu harus tunduk atas Undang-undang Pemilu, berikut tatacara memilih yang sudah ditetapkan Lembaga Negara yang berwewenang melaksanakan Pemilu, dalam hal ini KPU.
Entahlah kalau menurut pakar-pakar hukum lainnya yang dalam posisi netral bila menilai pendapat-pendapat Saksi-saksi Ahli dari kubu Prabowo-Hatta, tetapi menurut saya dengan logika umum yang ada rasanya pendapat-pendapat para Pakar Hukum Tata Negara diatas sangat tendensius dan memihak sehingga sulit diterima dengan logika umum.
Salam Kompasiana.
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H