Lihat ke Halaman Asli

Proses Sapih Tidak Mengenakan - Subsidi Bbm, Kanker Atau Vitamin?

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat 2 bagian penjelasan arti kata “SAPIH”. Pertama diartikan sebagai lumpuh sebelah badan, yang kedua diartikan lebih banyak, yaitu; menghentikan anak menyusu (manusia), mengakhiri periode anak binatang menyusu pada umur tertentu (ternak) dan memindahkan benih yang sudah berkecambah dari persemaian lama ke persemaian baru yang lebih besar (tanaman). SAPIH yang dimaksud pada judul topik ini adalah pada pengartian yang kedua; menghentikan anak menyusu.

Pada manusia proses SAPIH cenderung menjadi proses yang tidak mengenakan bagi kedua pihak yang terlibat, sang anak akan merasa ditinggalkan dan sang ibu merasa sedih karena harus melihat bayinya merengek minta disusui. Namun proses SAPIH tetap harus dilakukan dan dilalui demi kebaikan keduanya, khususnya bagi perkembangan mental dan fisik si anak. Anak  yang tumbuh makin besar membutuhkan asupan yang lebih sesuai untuk perkembangan fisiknya, selain itu secara mental si anak juga anak dipersiapkan untuk makin mandiri dengan menciptakan “jarak” agar mulai belajar untuk tidak selalu bergantung pada sang ibu.

Jadi dampak yang diharapkan dari proses menyapih jelas: membuat si anak makin kuat baik secara fisik maupun mental. Demikian pula saat ini kita sebagai bangsa, sebagai rakyat.

Sekian lama kita sebagai rakyat telah hidup bergantung pada SUBSIDI BBM yang disediakan pemerintah. Dampak SUBSIDI BBM yang terjadi sekian lama (bahkan sejak saya belum lahir) telah membuat kita tidak lagi merasa bahwa kita telah menikmati SUBSIDI BBM. Kita telah menganggap SUBSIDI BBM sebagai hal yang biasa, lumrah, wajar, bukan sebagai berkah, bahkan saya yakin kita telah lupa untuk mensyukuri keberadaanya.

Pada mulanya SUBSIDI BBM adalah “vitamin”, untuk penambah kekuatan dan gairah ekonomi bangsa kita. Agar beban biaya operasional yang ditanggung setiap unit usaha dapat lebih ringan sehingga setiap unit usaha mampu bersaing secara ekonomi.

Namun pada akhirnya SUBSIDI yang sejatinya adalah esensi tambahan pada periode tertentu ternyata telah bermutasi menjadi esensi utama yang berlaku secara permanen tanpa batasan periode. Mari kita renungkan sebagaimana analogi di atas, bayangkan kalau seorang manusia tidak memiliki batasan untuk majalani proses SAPIH, maka hidup setiap orang dewasa akan selalu bergantung pada air susu ibu (ASI) dan tanpa batasan yang jelas kapan harus berhenti minum ASI. Akan konyol sekali jika setiap manusia dewasa akan mengeluh belum cukup gizi (kenyang) kalau tidak ada ASI meskipun sudah makan dengan takaran gisi seimbang.

SUBSIDI yang sejatinya adalah partikel tambahan juga telah menjadi jaringan permanen dalam tubuh bak kangker/tumor, ketika akan diangkat (dihilangkan) akan memerlukan usaha perjuangan berat dan menyakitkan. Mohon maaf jika saya menyebutnya sebagai kangker/tumor, karena SUBSIDI telah menciptakan penyakit berupa “kepalsuan” dalam citra kesehatan tubuh bangsa kita. Kepalsuan keuntungan yang dihasilkan oleh setiap unit usaha, kepalsuan beban biaya yang ditanggung oleh setiap unit usaha, hingga kepalsuan prestasi kehidupan ekonomi bangsa kita.

Saat ini mungkin kita seperti seorang anak balita umur 2 tahun yang sedang merasa sedih dan sakit karena sang ibu mulai tidak memberikan ASInya. Sebuah periode transisi yang tidak mengenakan namun harus dijalani dan harus berhasil untuk kita lalui. Hindarkan mimpi untuk bisa kembali menyedot ASI. Karena kelak kita harus mampu mandiri untuk kuat berdiri, berjalan dan berlari tanpa harus minum ASI. Agar kita tidak malah menjadi bangsa yang nantinya seperti pada arti pertama SAPIH dalam KBBI; lumpuh sebelah badan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline