Pada Pilpres kemarin, ada tiga paslon yang ikut bertarung: 1. Anies - Muhaimin, 2. Prabowo -Gibran, 3. Ganjar -- Mahfud. Pemenangnya adalah pasangan nomor 2.
Pada Pilkada Jakarta 2017, juga ada tiga paslon: 1. Agus -- Sylvi, 2. Ahok -- Djarot, 3. Anies -- Sandiaga. Di mana di putaran pertama, pasangan nomor 2 sempat menang.
Di Pilgub Maluku 2018, ketiga paslonnya adalah: 1. Said -- Anderias, 2. Murad -- Barnabas, 3. Herman -- Vanath. Pemenangnya? Nomor 2 lagi.
Walaupun sifatnya tidak mutlak, kontestan nomor 2 sepertinya lebih sering menang. Bukannya tanpa alasan, fenomena ini sebenarnya punya penjelasan dari sisi psikologi. Ada sesuatu soal "nomor tengah" yang bikin orang lebih suka, dan ini bukan cuma soal nomor urut.
Posisi Tengah Itu Nyaman
Ada sebuah ungkapan, "Jika ada orang tidur bertiga, yang tengah paling nyenyak tidurnya". Bayangkan, kamu masuk ke sebuah ruangan dengan tiga pilihan tempat duduk: di pinggir, di tengah, atau di pojok. Kebanyakan orang bakal memilih duduk di tengah. Itu karena posisi tengah punya kesan lebih nyaman dan netral.
Nah, dalam pemilihan, hal yang sama juga berlaku. Otak kita secara otomatis merasa bahwa kontestan yang ada di tengah adalah pilihan yang lebih "aman."
Secara psikologis, ini disebut centrality bias. Orang cenderung merasa posisi di tengah tidak terlalu menonjol seperti nomor 1, tapi juga tidak terlalu "terlupakan" seperti nomor 3. Jadi, si nomor 2 dapat keuntungan dari persepsi ini.
Mata Kita Suka yang Simetris
Ada hal lain yang bikin nomor 2 sering lebih menonjol. Otak kita secara alami suka hal yang seimbang, termasuk dalam hal posisi visual.
Ketika ada tiga pilihan, mata kita secara otomatis tertarik ke tengah karena terlihat lebih simetris. Efek ini disebut serial position effect.
Intinya, posisi pertama dan terakhir biasanya lebih mudah diingat, tapi posisi tengah dianggap sebagai yang paling stabil.