"Kenapa kamu selalu mengambil gambar dari sisi kiri?" tanya Mika dengan sedikit cemberut, matanya menatap Haqi yang sedang sibuk memotret.
Di atas kepala mereka, langit terbentang luas, biru cerah dengan beberapa awan putih yang bergerak perlahan. Di kejauhan, deretan gedung-gedung kota terlihat seperti latar belakang sebuah lukisan.
Haqi tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat kameranya sedikit lebih tinggi, mencoba menangkap sudut yang menurutnya paling pas. Mika berdiri di antara hamparan bunga liar yang beraneka warna. Beberapa helai rambut hitamnya tergerai tertiup angin, menciptakan efek dramatis yang selalu ingin ditangkap Haqi.
"Kenapa Haqi?" desak Mika lagi.
Suaranya sekarang lebih pelan, hampir terdengar seperti bisikan yang hanya dimaksudkan untuk mereka berdua.
Haqi menurunkan kameranya, matanya bertemu dengan mata Mika.
"Karena dari sisi kiri, kamu terlihat paling cantik," jawabnya sederhana, namun dengan ketulusan yang membuat Mika sejenak terdiam.
Ada sesuatu tentang cara Haqi memandang dunia yang selalu membuat Mika terpesona. Bagi Haqi, setiap momen adalah kesempatan untuk diabadikan. Setiap sudut pandang memiliki keindahannya sendiri.
Namun ada sesuatu yang lebih dalam tentang alasan mengapa Haqi selalu memotret Mika dari sisi kiri. Bukan hanya soal teknik fotografi, tapi lebih kepada bagaimana Haqi melihat Mika, dan bagaimana ia ingin dunia melihat Mika melalui lensanya.
"Apa kamu tidak pernah bosan memotretku?" Mika menggoda.