Masih hangat rasanya kita disuguhi deretan hasil (baca: prestasi) pasangan gubernur - wakil gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dalam 1 tahun kepemimpinannya.
Salah satunya adalah, janji kampanyenya yang sudah "LUNAS" di bidang transportasi (baca disini), yakni transportasi murah yang merakyat. Tranportasi kemana saja di dalam jakarta yang hanya mengeluarkan uang 5000 rupiah saja.
====
OK OTrip, sebuah terobosan yang digagas wakil Gubernurnya Sandiaga Uno, yang sedari masa kampanye memang selalu mengusung Kata dan Simbolisme OK OCE, yang kemudian secara bertahap akan diterapkan "nama sejenis" di segala bidang dalam kepemerintahan duetnya dengan Anies Baswedan.
Program "penyederhanaan" transportasi pertama kali dilakukan jaman Gubernur Sutiyoso yang diaplikasikan di Tras Jakarta (sering disebut Busway), yang menyederhanakan Transportasi makro ibukota (baca disini), yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Fauzi Bowo, yang cukup berhasil meningkatkan angka pengguna Transportasi umum di ibukota. Moda Transportasi 1 harga, praktis, dan tepat waktu lancar diluncurkan dan dikembangkan, walau awalnya dianggap remeh banyak pihak.
Di jaman pemerintahan setelahnya, selain juga terus membenahi WARISAN UTAMA berupa penambahan koridor bus Trans Jakarta, penambahan armada secara besar-besaran karena rasio penumpang dan bus yang sudah tidak memadai, Gubernur Jokowi menyoroti permasalahan yang lebih krusial, karena lebih menyedot jumlah pengguna yang lebih besar, dan lebih tinggi angka kematiannya saat itu, yakni KRL Jabodetabek. Langkah ekstrim berupa penggusuran lokasi hunian pinggir rel, penertiban pedagang liar sekitar stasiun, hingga peremajaan kawasan stasiun, dengan bekerjasama dengan Kementerian Transportasi dan PT Kereta Api Indonesia sendiri (baca disini), berbuah manis. Pembenahan ini awalnya banyak dikecam karena dinilai tidak "manusiawi", namun kini hasil tadi justru menunjukkan betapa manusiawi dan adilnya fungsi dan peruntukan masing-masing moda transportasi yang hadir di ibukota.
Kemudian, ketika pergantian pucuk kepemimpinan di DKI karena Jokowi terpilih secara mayoritas sebagai Presiden RI, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pun kembali fokus untuk menambah koridor bahkan menambah infrastruktur - infrastruktur baru penunjang Bus TransJakarta, selain menambah kembali jumlah armada, kerjasama dengan pihak swasta sebagai penopang Bus Tras Jakarta di koridor kota satelit Jakarta seperti Bekasi, Depok dan Tangerang, plus dimulainya penggunaan bus buatan Eropa yang dilengkapi sistem komputerisasi dan GPS untuk menambah kenyamanan, deteksi untuk waktu tempuh dan keawetan umur bus dibanding produk buatan China yang selama ini digunakan (baca disini). Tidak lupa, Ahok juga melakukan terobosan dengan membuat sterilisasi Jalur Busway yang selama ini peraturannya seperti tidak berjalan, dengan menempatkan petugas polisi dan operator di pintu2 jalur, selain menambah pintu penhlalang, serta meninggikan jalur busway agar menjadi "jebakan" bagi pelanggar aturan, ditambah dimulainya penggunaan bus Feeder (pengumpan) dengan menggandeng KOPAJA dan METRO MINI sebagai operator, sekaligus secara bertahap "mematikan" bus-bus ukuran medium yang selama ini dikenal dengan kondisinya yang sudah seperti tidak laik jalan, ataupun ugal-ugalan karena mengejar setoran. Sistem kerja pun mulai disusun dan ditata dengan baik mengenai pembagian pendapatan, sehingga "rasa keadilan" baik pihak operator dan pemda bisa sama-sama menguntungkan secara operasional, dengan tetap mengutamakan pelayanan kepada warga pengguna Trans Jakarta. Perubahan-perubahan signifikan tadi berdampak sangat baik, pagi ketepatan waktu dan efisiensi operasional Bus Trans Jakarta.
Kini, masa kepemimpinan Anies-Sandi, dimana sebuh proses EvolusiBRT sangat dibutuhkan... Moda Transportasi BRT (Bus Rapid Transit) dengan jalur lintasan terpanjang di dunia ini, mengalami sedikit sekali perkembangan. Setelah hanya meresmikan jalur transjakarta "mewah" berjudul Royaltrans jurusan Poris (tangerang)-Senayan (jakarta), dan Bus MetroTrans buatan Eropa yang sudah ready sejak jaman Ahok, Koridor 14-15 pun belum juga "disentuh" pasangan baru pemimpin jakarta ini (baca disini). Kedua pasangan ini justru fokus membenahi Angkot (Angkutan Kota) yang mayoritas bernaung di bawah Mikrolet (Mikro Oplet), KWK (Koperasi Wahana Kalpika) dan KBL (Koperasi Budi Luhur).
Pasangan ini memang sudah menerapkan janji kampanyenya yang mereka sebut OK OTrip tadi. Mikrolet, KWK dan KBL ini, dibayar oleh PT Trans Jakarta sebesar 3600-3900 rupiah per kilometernya, dengan asumsi bisa mencapai 200 km operasional per harinya (baca disini). Kesepakatan ini, bertujuan agar angkot-angkot di seputaran ibukota tidak lagi "ngetem", namun bisa berjalan layaknya bus Trans Jakarta berkeliling tanpa memikirkan biaya operasional yang akan dikeluarkan, karena sudah ditutupi oleh PT Trans Jakarta.
Sebuah hal berbeda dengan rencana Gubernur Ahok sebelumnya, yang justru berniat menghilangkan Angkot, dengan membatasi moda transportasi yang digunakan untuk publik di wilayah lingkungan adalah moda transportasi bus ukuran medium yang bisa dipakai warga secara bersama, sebagai pilihan angkutan publik dan memberikan kuasa kepada 2 operator KOPAJA dan METRO MINI sebagai bentuk bus pengumpan (Feeder) TransJakarta nantinya, termasuk penerapan 1 harga Transportasi publik di Jakarta (baca disini).
====
Lain ladang lain belalang, dimasa "kejombloan" pimpinan DKI setelah Anies ditinggalkan Sandi yang maju menjadi cawapres di pilpres 2019 mendatang, kebijakan OK OTrip justru dimatikan, dan di rubah namanya menjadi Jak Lingko yang berarti Jakarta yang terintegrasi. Kata Lingko sendiri adalah kata baru yang masuk kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di bulan Oktober 2018 (baca disini).
Setelah OK OTrip banyak dikritik dan selalu gagal dalam uji coba yang hingga 4x diperpanjang karena tidak sesuai dengan harapan (baca disini).
Jak Lingko disebut merupakan hasil final dalam mengintegrasikan Angkutan Lingkungan Kecil denga Trans Jakarta, walau sudah jelas kendala pengintegrasian ini lebih besar mengalami kesulitan dalam distribusi pembayaran, seperti kita ketahui sebagian besar angkot merupakan milik pribadi, bukan langsung dikelola oleh mikrolet, KWK, atau KBL, sehingga tingkat pengawasan dan kebocoran akan lebih tinggi, ketika tagihan pembayaran ke PT Trans Jakarta akan sulit teraudit dengan fakta operasional pengemudi di lapangan.
====