Lihat ke Halaman Asli

Rully Moenandir

TV and Movie Worker

Pemilu, Media Sosial, dan Matinya Kekeluargaan

Diperbarui: 14 Januari 2019   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Pemilu, atau pemilihan umum, dilakukan di negara kita pertama kali tahun 1955, lalu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dimana sejak tahun 1977, baru rutin dilakukan setiap 5 tahun sekali.
Sebagai negara Demokrasi, tentunya proses pemilu, adalah proses tertinggi dalam pemilihan kepala pemerintahan di Indonesia. Yang hasilnya, merupakan ketetapan yang harus diikuti bersama oleh setiap warna negara Indonesia, karena proses inilah yang menentukan arah bangsa kedepannya.

Saat pertama kali diadakan, pemilu diikuti lebih dari 35 partai, yang mulai tereliminir sejak masa Orde Baru yang diikuti 10 Partai Politik, dan akhirnya mengkerucut menjadi 2 Partai Politik dan 1 Golongan, sebagai peserta pemilu mulai tahun 1977, yakni :
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
2. Partai Golongan Karya (GOLKAR)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba.

boombastis.com

Seiring runtuhnya orde baru, 3 partai tadi pun, kembali membengkak jumlahnya, dan dikerucutkan lagi lewat ET (Electoral Threshold) agar pemilu berikutnya bisa lebih sedikit jumlahnya (walau tetap dibuka kesempatan membentuk partai baru, dengan syarat-syarat yang sudah ditetapkan tentunya).

Baru pada Pemilu 2004-lah tonggak PEMILU SECARA LANGSUNG benar-benar dilakukan. Masyarakat dapat memilih langsung siapa orangnya yang akan duduk di DPR, DPD, DPRD,  bahkan Presiden dan Wakil Presidennya, karena sebelumnya partailah yang menentukan siapa yang akan duduk di "kursi-kursi impian" tadi, dan masyarakat hanya memilih partai dan mewakilkan suaranya kepada DPR, DPD, dan DPRD untuk memilih Kepala Pemerintahan.

Hanya ada 1 hal yang sejak jaman ORBA tidak berubah, yakni AZAS PEMILU...LUBER. Ya, Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. yang kemudian di Era Reformasi ditambahkan kata JURDIL, yang artinya Jujur dan Adil.
"Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
"Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.
"Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
"Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
"Jujur" berarti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih.
"Adil" berarti perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu.

Dokpri


====

Kemudian, fenomena teknologi yang dapat mengecilkan ruang, jarak dan waktu hadir, dan menjadi tantangan baru bagi Azas Pemilu diatas. Karena LUBER (Langsung Umum Bebas dan Rahasia) menjadi hal yang sangat berbeda dengan harapan tadi.

Lalu bagaimana nasib LUBER tadi di tatanan kemasyarakatan kita akibat perkembangan teknologi ini?
Jika dahulu, kita sulit untuk mengetahui apa pilihan politik tetangga kita, sampai kita menemukan stiker tertempel di depan kaca rumahnya atau ketahuan berangkat ikut iring-iringan kampanye dan berpanas ria saat jurkam berbicara di lapangan dekat rumah...

Kini, dengan maraknya penggunaan media sosial, group-group chat messenger, semuanya menjadi SANGAT TERBUKA. Jangankan tetangga, PEJABAT PEMERINTAHAN, POLITIKUS, bahkan instrumen negara yang seharusnya TABU seperti PNS, TNI dan POLRI, kini mudah sekali kita ketahui arah pilihan mereka.
Semua secara terang-terangan dan gamblang menyatakan dukungan, bahkan beberapa justru masuk kedalam tim sukses salah satu pasangan calon (paslon) yang akan bertarung dalam pemilu.


Hal inilah kemudian yang menjadi "chaos" di masyarakat. Tingkat kedewasaan kita dalam berpolitik, serta Prematurnya demokrasi terbuka yang juga tidak dibarengi dengan upaya Partai Politik dalam mengedukasi masyarakat atau minimal kader dibawahnya menjadi bumerang.

Media sosial, bukan lagi menjadi ajang pengikat ruang, jarak dan waktu lagi seperti awal-awal mereka hadir. Group-group Pesan Singkat bukan lagi menjadi ruang informasi internal kelompok kecil. Kesemuanya seperti sudah menjadi "medan perang" bagi masing-masing individu untuk saling serang hingga titik darah penghabisan. I win or You Lose.
Bahkan sang individu yang merasa "netral" pun, akhirnya sudah tidak terlihat lagi kenetralannya. Posting-posting yang terlihat tidak memihak-pun, terbaca jelas ketika menengahi sebuah konflik yang terjadi dihadapannya, menjadi penghakiman dan masukan berat sebelah karena memang dalam sebuah proses pemilu sangat DIHARAMKAN GOLPUT alias Golongan Putih yang "seharusnya" tidak berpihak ke arah manapun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline