Lihat ke Halaman Asli

Dari Mereka Aku Belajar Indahnya Hidup

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kata “indah” bagi tiap orang punya persepsi masing-masing. Memang “indah” tak bisa diungkapkan, karena indah itu abstrak. Seperti halnya makanan, enak bagiku belum tentu enak bagimu.

Di dunia ini, sering kali kita mendengar kicauan suara burung yang indah maupun suara alunan instrumen musik. Musik yang bagus bagaimana suaranya? Suara piano seperti apa? Suara gitar seperti apa?

Baiklah untuk masalah suara itu hanya bagi kita yang memiliki pendengaran normal yang berarti tidak mengalami gangguan pendengaran. Lain halnya dengan teman-teman kita yang deaf. Mereka hanya mendengar sedikit suara bahkan tidak mendengar sama sekali. Bagaimana mereka menjawab pertanyaan di atas kalau mereka tak pernah mendengar suara piano seperti apa.

Deaf “mendengar” dan melihat melalui visualnya. Visual mereka sangat tajam, karena melalui indera inilah mereka berkomunikasi dengan dunia luar. Dengan keterbatasan yang mereka miliki ini, tak membuat mereka mengurung diri dalam kesendiriannya. Berkumpul bersama teman-teman bisa mengusir kejenuhan.

Gerkatin Solo, inilah nama tempat di mana mereka dan aku berbagi canda, cerita, suka, dan duka (tapi hampir ga ada duka kok). Aku bersyukur bisa bertemu teman-teman deaf di sini. Aku menjadi mengerti bagaimana karakteristik mereka, kebutuhan mereka, dan juga cara berkomunikasi mereka. Secara fisik mereka tidak ada yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Mereka bisa jalan, bisa lompat, bisa lari, naik motor, naik mobil, dan benar-benar tak ada yang bisa membedakan mereka dengan orang normal.

Namun saat mulai berkomunikasi inilah kita tahu bahwa mereka adalah deaf. Yang memiliki keterbatasan dalam pendengaran. Tapi bagi masyarakat yang belum mengerti tunarungu seperti apa kadang-kadang bayangan mereka tentang deaf itu bodoh dan tak mampu berbuat apa-apa. Yaaa wajar saja… Mungkin karena ada kata “tuna-“ yang membuat pandangan masyarakat menjadi miring terhadap teman-teman deaf.

DEAF TIDAK CACAT. Mereka hanya memiliki keterbatasan pendengaran. Mereka lebih suka diutarakan dalam “tuli” atau “deaf” (bahasa Inggris), karena tidak membuat mereka merasa “cacat”. Oh iya, jika ada yang beranggapan bahwa deaf itu bodoh, orang itu benar-benar belum mengerti hakikat diciptakannya manusia oleh Tuhan pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Deaf memiliki kemampuan otak yang SAMA dengan orang normal, hanya yang berbeda adalah CARA MENGISInya. Kita yang normal bisa mendengar dan melihat, sehingga semua informasi bisa terserap dalam otak.

Teman-teman deaf memiiki cara yang berbeda dalam pembelajaran, karena mereka memanfaatkan visualnya. Baik itu membaca tulisan maupun membaca gerak bibir sang guru. Jika kita menggunakan cara yang tepat dalam memberikan informasi bagi teman-teman deaf, pasti mereka juga bisa seperti orang normal yang punya banyak informasi. Mungkin sebagian dari kita tidak sabar menghadapi mereka. Tahukah kamu sebenarnya kita telah melakukan diskriminasi terhadap mereka. Mereka berhak mendapatkan informasi meskipun terbatas dalam mendengar.

Dari hal-hal inilah aku belajar bahwa Tuhan menciptakan kita untuk saling melengkapi. Memiliki pendengaran dan penglihatan normal jangan membuat kita lupa dengan teman kita yang memiliki keterbatasan itu. Tapi jangan pernah berpikir untuk menaruh rasa iba pada mereka, bukan rasa iba yang mereka inginkan, tapi PERHATIAN.

Hidup itu tak mesti mendengar, karena kami melakukan keramaian meski dalam kesunyian. Setelah masuk ke dalam dunia deaf, aku menjadi mengerti bahwa tak ada yang benar-benar sunyi. Ingatlah kawan, Keterbatasan Tak Membuat Kita Menjadi Terbatas. Ayo bersama-sama menembus BATAS itu.

Terima kasih kawan-kawan deaf yang telah mengajariku indahnya hidup ini.

Dari blog pribadi:

rullyanjar.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline