Pertumbuhan ekonomi idealnya membawa maslahat bagi kesejahteraan masyarakat. Di tataran teori, indikator makroekonomi ini menggambarkan kemajuan kegiatan ekonomi masyarakat seperti konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah hingga surplus ekspor atas impor. Akan tetapi secara faktual, pertumbuhan harus diuji pula apakah besarannya dalam suatu periode itu menyejahterakan atau malah sebaliknya.
Sebab tidak jarang pertumbuhan yang tinggi justru hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat saja (golongan kaya), namun masyarakat golongan bawah justru terkepung oleh ekonomi biaya tinggi dan makin tenggelam dalam kemiskinan struktural, kondisi inilah yang sering diironikan sebagai kondisi "yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin bertambah miskin". Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, idealnya akan mampu menciptakan lapangan kerja, sehingga jumlah angka pengangguran dapat dikurangi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga diharapkan akan memberi efek menetes atau "tricle down effect" secara baik, sehingga terjadi pembagian kue pembangunan yang lebih adil dan merat, meskipun dalam kenyataan tidak selalu berbanding lurus. Perputaran modal yang tidak tepat, justru hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi semu yang tidak mensejahterakan rakyat (bubble economy).
Daya serap persentase pertumbuhan terhadap tenaga kerja juga harus dijaga. Idealnya memang setiap 1 % pertumbuhan akan membuka lapangan pekerjaan bagi sekitar 400-450 ribu orang sebagaimana diamanatkan dalam APBN, namun faktanya, 1% pertumbuhan ekonomi pasca reformasi hanya mampu menampung sekitar 225 ribu tenaga kerja. Artinya, daya serap ekonomi hanya separuh dari target.
Faktor penyebabnya tentu beragam, tetapi biasanya ini disebabkan oleh lebih bertumpunya pertumbuhan ekonomi pada sektor konsumsi, artinya pengeluaran masyarakat dan pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta lebih banyak digunakan guna keperluan belanja barang konsumsi yang terpakai namun tidak untuk tujuan produktif berjangka panjang. Misalnya meningkatnya jumlah kredit kendaraan dan rumah.
Sebaliknya kredit usaha kurang terserap dengan optimal dan kurang berhasil guna. Sebelum reformasi, Ekonom Paul R. Krugman pernah mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih ditopang oleh konsumsi dan ini berlangsung sampai sekarang, Impor barang komsumen semakin tinggi dibandingkan ekspor, akibatnya cadangan devisa terkikis dan ini bisa berbahaya bagi kelangsungan perekonomian nasional.
Pertumbuhan tinggi juga tidak ideal jika diikuti oleh laju inflasi yang melambung, karena kontrol yang lemah terhadap distribusi barang dan ekonomi berbiaya tinggi di sektor riil. Demikian juga dengan investasi yang hanya melulu mengandalkan sektor-sektor padat modal, maka akan kurang efektif karena kurang signifikan dalam menyerap tenaga kerja.
Jadi sejatinya pertumbuhan ekonomi harus menjadi fungsi yang terkooordinasi dengan baik, tidak saja di sektor moneter namun juga di sektor riilnya. Indonesia hingga kini masih tergolong sebagai negara berkembang dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang relatif tinggi, kesenjangan penduduk kaya-miskin kian melebar, dan daya saing serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah.
Bank Dunia memang telah mengelompokkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 3.542,9. Namun masalah klasiknya adalah masih terjadi kesenjangan pendapatan selama bertahun-tahun, ini tercermin dari koefisien gini. Gini ratio merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin dan penduk kaya.
Jika pada tahun 2002 koefisien gini tercatat 0,329, maka pada tahun 2016 lalu (data BPS per September) tercatat 0, 394. Angka index gini diantara 1-0, semakin mendekati 1 maka semakin tidak merata pertumbuhan yang terjadi, artinya kesenjangan ekonomi semakin melebar. Data gini rasio 2016 lalu menunjukkan masih cukup besarnya kesenjangan ekonomi, meskipun kemudian agak sedikit membaik di 2017 lalu, 0, 391 per September menurut data BPS. Salahsatu kritik atas pertumbuhan ekonomi saat ini adalah adanya sekelompok orang terkaya di Indonesia (sekitar 60 orang saja) yang pendapatannya setara dengan 40 juta penduduk miskin.
Para kelompok kaya yang jumlahnya sangat sedikit kerap menikmati bagian terbesar nilai tambah ekonomi. Ada 10 persen penduduk, jika merujuk pada Indikator Pembangunan Dunia dari Bank Dunia pada 2013, yang memiliki 65,4 persen dari aset total nasional. Dalam hal ini, Indonesia berada di peringkat 17 negara yang kesenjangan ekonominya paling tinggi dari 150 negara yang disurvei.