Lihat ke Halaman Asli

Andil Pendidikan dalam Perekonomian

Diperbarui: 15 Januari 2018   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto:mmc.tirto.id

Andil pendidikan atau bahasa teknisnya mutu modal manusia  (human capital) terhadap pertumbuhan ekonomi memang relatif baru dalam khazanah ekonomi makro. Teori pertumbuhan neo-klasik standar dari Solow (1956) misalnya, belum  mampu menjelaskan mengapa sering terjadi kesenjangan pendapatan (income gap) antar negara didunia, padahal pertumbuhan ekonomi disisi lain terus meningkat. Baru ketika variabel modal manusia dimasukkan dalam perhitungan ekonomi, dimulailah penjelasan tentang adanya kesenjangan tersebut.

Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah bahwa pendidikan meningkatkan produktifitas pekerja. Jika produktifitas pekerja meningkat, maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. 

Kenaikan produktifitas berarti kenaikan penghasilan yang pada gilirannya secara agregatif akan mengangkat kesejahteraan masyarakat, utamanya kelompok miskin. Namun persoalan kemudian timbul; ternyata asumsi pendidikan akan menaikkan produktifitas dan pendapatan tidak serta merta bisa digeneralisasi, apa pasal ?

Sejumlah studi mengenai keterkaitan diantara pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan disejumlah negara menemukan kenyataan yang berbeda-beda, utamanya mengenai perubahan signifikan pendidikan terhadap produktifitas. 

Studi yang dilakukan oleh Foster dan Rosenzweig (1995) yang mengkaji dampak pendidikan terhadap petani di India sedikit banyak menjelaskan hal ini. Dalam studi tersebut ada perbedaan signifikan antara petani dengan pendidikan dasar dengan mereka yang tak pernah sekolah. Namun persoalan berbeda saat menjelaskan mengapa tidak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar. 

Di daerah tertentu yang kondisi alam dan geografis buruk misalnya, ternyata produktifitas lebih ditentukan justru dari pengalaman, bukan pendidikan. Bagi petani ditempat-tempat seperti itu, pergi ke sekolah selain kurang bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun  pengalaman bekerja di sawah. Dalam persoalan ini orang bisa berargumentasi; bukankah dengan pendidikan seseorang  bisa mengalami mobilitas sosial, artinya dengan bekal pendidikan, tak harus orang selalu bekerja di satu sektor saja atau konkritnya bisa masuk ke sektor industri moderen atau high-tech misalnya. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa langkah untuk melakukan mobilitas sosial kadang terhambat oleh faktor-faktor geografis dan budaya,  termasuk kedalamnya  isu korupsi, kolusi dan nepostisme  yang menjadi persoalan rumit di semua Negara. 

Dengan melihat studi-studi terkini tentang manfaat ekonomis dari pendidikan di berbagai negara, tentu terlalu naif jika kita menyimpulkan kebenaran dari hanya satu-dua kesimpulan studi, namun hal itu harus kembali menggali faktor-faktor yang cocok (matching) dengan lingkungan kedaerahan serta pendekatan multidimensi sebelum memutuskan memberikan apa yang terbaik bagi pembangunan di sektor pendidikan, khususnya di daerah-daerah di Indonesia. Artinya kalau selama ini kita menyaksikan keterpurukan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran yang angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun, jangan terlalu terburu-buru menyimpulkan bahwa itu diakibatkan oleh kurangnya anggaran bagi pendidikan, kemudian orang bicara soal alokasi dana yang lebih besar di sektor ini, keringanan bahkan penggratisan biaya pendidikan menengah dan tinggi, block-grant dan lain sebagainya. Padahal kontribusi dan manfaat dari output di unit-unit pendidikan formal yang didanai tak pernah tersentuh oleh penelitian yang komprehensif, apakah outputnya mendongkrak PDB per kapita, atau bahkan statis ?

Maka tak salah jika ada anggapan bahwa sering terjadi blunder (kesalahan langkah) dalam menentukan garis kebijakan sektor pendidikan, utamanya di negara-negara berkembang. Mengapa, misalnya, kita tidak concern dengan penajaman mutu dan akselerasi pendidikan luar sekolah (PLS, atau informal education) yang mengedepankan ketrampilan serta adaptif dengan pasar tenaga kerja (link and match with labor market), ketimbang terlalu memaksakan diri untuk menggratiskan biaya pendidikan menengah hingga tinggi tanpa meneliti dampaknya terhadap ekonomi . 

Kedua hal ini, yakni PLS dan penajaman mutu, dalam pelbagai kajian kenyataannya lebih cepat untuk menaikkan produktifitas, membuka peluang kerja baru yang pada gilirannya mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Oleh sebab itulah selayaknya peningkatan anggaran pendidikan juga lebih memperhatikan dua hal tersebut, tidak semata sekolah formal yang konsepnya lebih populis. 

Dalam kajian ekonomi pendidikan. Peran PLS sebagai human-investment sangat menguntungkan dibandingkan dengan pendidikan persekolahan yang terlalu bercorak akademis dan penyamarataan program. Penelitian BP3K (Suryadi dalam Darusman, 2005) melihat bahwa kontribusi PLS jauh lebih besar dibandingkan dengan pendidikan persekolahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Output PLS banyak mendukung industri padat karya dan padat usaha, yang pada gilirannya menghasilkan padat hasil dan kesejahteraan. 

Sebuah perspektif moral dari literatur tentang manfaat ekonomi pendidikan adalah bahwa jalur pendidikan, baik formal dan informal sebaiknya mengacu pada pendekatan yang menyeluruh (comprehensive) tentang perilaku modal manusia, memasukkan faktor geografis hingga faktor bawaan (endowment-factors) sebelum menentukan garis kebijakan yang tepat di sektor pendidikan. Jangan sampai kita terjebak pada proyek-proyek pendidikan populis atau proyek high-tech yang sekedar "mercusuar", dengan input biaya triliunan-rupiah namun sedikit menghasilkan output produktif, jadi yang lebih penting adalah  mengedepankan program pendidikan tepat guna dan berhasil guna berbasis ketrampilan dan soft skill yang baik. Akhirnya sebuah kesimpulan kajian dengan sangat baik dipaparkan oleh Ekonom Ari A. Perdana dari Harvard University AS, 2005 dalam risalahnya tentang pendidikan dan pertumbuhan ekonomi; bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan  secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar (*).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline