Isu mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, sekarang ini telah menjadi sorotan global, kurang lebih 6300 orang meninggal setiap hari karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja atau hampir 2.3 juta orang setiap tahun. Beban cedera dan penyakit akibat kerja akan sangat merugikan, baik bagi karyawan, perusahaan serta dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih luas. Setiap kali ada kejadian kecelakaan kerja, maka faktor utama yang umumnya diselidiki sebagai penyebab awal kejadian adalah "human error", meskipun tidak juga menutup kemungkinan disebabkan oleh faktor instrumen pekerjaan dan faktor eksternal lainnya (force majeur).
Perlu tindakan tegas dari sisi hukum apabila terbukti ada pelanggaran terhadap aspek keselamatan pekerjaan di sebuah perusahaan. Namun tentu jangan kemudian seolah ada tindakan sepihak yang saling menyalahkan, utamanya diantara perusahaan dengan serikat pekerja didalamnya, melainkan harus menjadi bahan evaluatif dan menulis ulang peringatan agar dunia usaha semakin menyadari akan pentingnya aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Kesehatan dan keselamatan kerja seringkali terabaikan, entah karena memang tidak diberlakukannya prosedur standar dalam aktivitas pekerjaan, atau bisa juga karena kurangnya manajemen pengawasan serta disiplin pekerja sendiri.
Istilah K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sudah dikenal cukup lama. K3 tentu saja bertujuan baik, yakni dalam rangka memelihara kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja. Kesehatan dan keselamatan kerja cukup penting bagi moral, legalitas, dan finansial. Semua organisasi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pekerja dan orang lain yang terlibat tetap berada dalam kondisi aman sepanjang waktu. Namun pada praktiknya masih saja ada perusahaan maupun pekerja yang sering abai dengan aspek aspek kesehatan dan keselamatan kerja.
Padahal jelas bahwa opitimalisasi fungsi K3 berpengaruh signifikan pada kinerja perusahaan, efisiensi dan produktifitas pekerja. Diabaikannya K3 akan berakibat fatal pada operasional perusahaan dan akhirnya malah kerugian jangka penjang yang diderita. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2016 yang lalu tercatat ada 101.367 kasus di 17.069 perusahaan dari 359.724 perusahaan yang terdaftar di Indonesia dengan korban meninggal dunia sebanyak 2.382 orang, hingga bulan November. Angka kecelakaan kerja di Indonesia memang diakui masih cukup tinggi.
Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4) Indonesia mengakui pula bahwa perlindungan keselamatan pekerja, utamanya di konstruksi di Indonesia selama ini masih minim, risiko kecelakaan kerja di perusahaan konstruksi dibandingkan industri lainnya memang lebih besar, yakni 1:2, meski perusahaan konstruksi sudah menerapkan sertifikasi K3 secara maksimal. Perusahaan yang sudah menerapkan sertifikasi K3 secara maksimal saja masih memungkinkan terjadinya kecelakaan, apalagi perusahaan yang belum menerapkannya, ini sebuah ironi yang harus segera dibenahi.
Konsep "zero accident" sejatinya menjadi ukuran setiap perusahaan dalam menjadikan keselamatan pekerjanya dengan formula efektif yang diterapkan. Keteledoran sekecil apapun di setiap kegiatan operasional perusahaan harus dianggap memiliki efek yang sangat serius dan dapat merugikan kinerja usaha. Fakta menunjukkan bahwa salah satu penyebab terjadinya kecelakaan kerja adalah masih rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di kalangan industri dan masyarakat.
Pasalnya adalah banyak perusahaan yang masih menganggap bahwa penerapan K3 sering diangga sebagai beban biaya (costs) dan bukan sebagai investasi guna mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Padahal jika sudah kejadian, malah kerugian financial bagi perusahaan menjadi berkali-kali lipat. Hal yang sering dituding menjadi sebab tak layaknya penerapan K3 dewasa ini ialah pertama, kurangnya supervisi yang seharusnya melekat dan berlaku di setiap operasional perusahaan dan kedua adalah rendahnya kebiasaan-kebiasaan baik (good habit) sebagian besar masyarkatak kita yang sering acuh tak acuh dengan kondisi keselamatan dirinya sendiri.
Semestinya kebiasaan untuk sadar keselamatan dalam bekerja sudah menjadi komitmen awal ketika seseorang memutuskan untuk bergabung dengan dunia kerja dan sekaligus juga menjadi persyaratan berinvestasi perusahaan perusahaan, terutama bagi perusahaan yang memang memiliki resiko kecelakaan yang cukup tinggi, misalnya di sektor transportasi dan konstruksi. Sebuah standar keselamatan kerja yang cukup memadai adalah melalui penerapan komponen penting dari panduan K3, yaitu menyediakan pengawasan yang tepat, prosedur kerja yang aman, pemeliharaan pencegahan, perlengkapan keselamatan, dan tindakan perlindungan lainnya untuk mengurangi risiko-risiko kesehatan dan keselamatan di tempat kerja.
Disamping itu penting kiranya dikembangkan pula kebijakan tanggap darurat untuk melatih, melaporkan, dan mengevakuasi karyawan apabila terjadi keadaan gawat darurat disamping mendorong para pekerja untuk berpartisipasi dalam program kesejahteraan yang ada di setiap perusahaan. Langkah pertama tentu menyadarkan ulang setiap pemengku kepentingan perusahaan agar terus meningkatkan "awareness" atas aktivitas para pekerja setiap hari, harus ada komitmen dan konsistensi penerapan aspek pendukung bagi keselamatan pekerja.
Hal tersebut disa dilakukan misalnya dengan menempelkan peringatan berupa stiker maupun spanduk yang mengingatkan para pekerja. Yang juga tak kalah pentingnya adalah harus ada peringatan rutin, misalnya berupa pelatihan standar pengingat kesehatan dan keselamatan dalam bekerja, termasuk melakukan mekanisme pergiliran kerja (tour of duty) sehingga dapat mengurangi tingkat kejenuhan serta stress akibat rutinitas di tempat kerja. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H