Lihat ke Halaman Asli

Mimpi Politisi Bebas Korupsi

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1389942960284148847

Korupsi di arena politik sudah menjadi tradisi sejak lama. Segala bentuk penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi maupun kelompok (baca : Partai Politik ) seakan sudah mendarah daging dan sulit diberantas.Karena maling-maling elite ini punya beragam cara serta rekayasa korupsi dengan banyakjurus berkelit atas tuduhan yang diarahkan kepada mereka. Korupsi tingkatan politisi adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) yang paling kompleks. Bentuk aksinya berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang dilegitimasi secara sistematis dan lain sebagainya. Tindakan tersebut bermuara pada kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri. Budaya bagi-bagi amplop”dan suap-menyuap di dalam masyarakat kita boleh jadi adalah salahsatu akar endemik tindak pidana korupsi. Mungkin kita perlu mengkaji ulang definisi korupsi sehingga jelas dan masyarakat menjadi tahu persis apa yang terjadi.

Tidak Wajar

Korupsi, menurut Transparency International(TI) adalah perilaku pejabat publik, baik politikus-politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur seperti melanggar hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan Negara dan memperkaya pribadi/diri sendiri. Dalam kasus bagi-bagi amplop atau pemberian “THR”, sudah sangat jelas hal itu memenuhi unsur menyalahgunakan wewenang selaku pejabat publik, apapun alasannya. Namun bagaimana putusannya menurut hukum positif kita, masih harusdilihat perkembangannya. Kalau diungkap ke permukaan, tampaknya akan banyak sekali perkara sejenis yang terkuak, sepertinya benar sinyalemen bahwa jika kasus penggunaandana anggaran di seluruh Kementerian, Badan dan intistusi negara hingga Pemda di Indonesia di bongkar, akan banyak pejabat Negara masuk penjara.

Jangan Campuri Hukum

Kebijaksanaan penegak hukum untuk mempertimbangkan apakah korupsi yang dilakukan oknum pejabat publik atau politisi diklasifikasikan sebagai bentuk ketamakan (greed) ataupun tuntutan kebutuhan ekonomi (need) agaknya sulit dipisahkan. Sejatinya korupsi lebih cenderung kepada rasa tamak dan serakah. Mempertimbangkan perbuatan korupsi dari sisi kebutuhan tidaklah tepat, karena korupsi tetaplah korupsi, sekalipun hasilnya dibagi-bagi kepada masyarakat kedalam segala bentuk “pencucian uang” . Seperti pernah pula diusulkan Prof.Dr. A.M Saefuddin –konon untuk menghindari anarkisme hukum- justru tidak bijaksana dan hal ini dapat mereduksi supremasi hukum . Sama buruknya dengan menerima“filantropi” hukum rimba “take from the rich and give to the poor” a la Robin Hood !. Akankah ini dibenarkanpengadilan ?.Sejatinya, biarkanlah hukum berjalan dengan keadilan faktual bukan direkayasa agar asas equality before the law benar-benar dijalankan. Penegakan hukum yang tebang-pilih dan setengah hati akan menjadi preseden buruk di masa depan dan semakin menipiskan tingkat kepercayaan rakyat. Dalam hal ini KPK sudah semakin baik kinerjanya dalam memberantas korupsi. Yang menjadi persoalan adalah proses hukum di tingkat pengadilan dan hakim yang mengadilinya harus terus-menerus diawasi, supaya tidak ada celah hukum yang dimanfaatkan untuk meringankan vonis tuntutan. Vonis berat bagi koruptor sangat diperlukan untuk menimbulkan efek jera, dari mulai pidana berat hingga sanksi sosial yang keras agar “calon-calon” koruptor akan berfikir beribu kali sebelum melakukan korupsi. Kredibilitas bangsa ini di dunia internasional tengah dipertaruhkan. Data terakhir dari Transparency International menyebut Korupsi di negera ini kini masuk peringkat 5 di dunia, sementara di institusi peradilan justru korupsi ditengarai masih tinggi, sebagian besar dari kita bahkan sudah tahu itu sejak lama dengan populernya anekdot KUHP-‘Kasih Uang Habis Perkara’. Korupsi bagai kanker yang telah menyebar ke seantero negeri, dari yang kelas teri seperti kasus pungli hingga kaliber mega korupsi seperti kasus Hambalang dan bail-out Bank Century yang penuntasannya memakan waktu yang berlarut-larut hingga sekarang. Dewasa ini kita tengah berada dalam tahapan geliat pembangunan ekonomi yang sudah lumayan baik dan dalam periode memperbaiki citra setelah babak belur karena krisis multi dimensi sejak tahun 1998 hingga 2008 . Ini adalah persoalan serius dalam mempertaruhkan supremasi hukum sekaligus martabat bangsa. Jadi jangan biarkan para tikus berdasi masih berlenggang di tengah penderitaan rakyat yang mendambakan keadilan. Karena pada umumnya penegakan hukum cenderung loyo ketika memasuki grey area atau sarat dengan rekayasa pada saat menyentuh wilayah politik.

Jihad Melawan Korupsi

Pada tempatnya kini kita menunggu komitmen Presiden SBY di masa akhir pemerintahannya agar ia dan kabinetnya berakhir dengan kehormatan (Ending with the Glory), Dan para calon pemimpin berikutnya yang maju dalam Pilpres 2014 untuk memberi dukungan politik yang proporsional -dan tetap dalam koridor hukum- terhadap pengusutan tuntas kasus-kaus korupsi, terutama oleh KPK- sebagai salahsatu format kontrak politik, jika tidak, kita khawatir rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan. Hukum harus berjalan dalam tatanan yang benar, adil dan tegas. Jangan sampai persoalan yang telah masuk ke ranah hukum ternyata dipolitisasi untuk maksud-maksud tertentu oleh segelintir elite untuk mengambil panggung serta ‘political-gain’ menjelang Pemilu 2014. Rakyat tentu akan kritis dan bereaksi menyikapinya. Oleh sebab itu kini tiba saatnya kita menunjukkan kepada dunia tekad bulat untuk membasmi korupsi , akar dari segala kejahatan (the roots of all evil). sampai ke akar-akarnya tanpa pandang bulu dan tanpa politisasi. Hal ini pada praktiknya memang akan terasa berat. Apalagi upaya hukum melawan model korupsi berjamaah yang sistemik, kini marak terjadi. Boleh jadi jihad melawan korupsi sama beratnya dengan mengangkat senjata melawan teroris atau gerilyawan pemberontak yang memerangi bangsa sendiri ; menyebar, sporadis dan sulit ditaklukan (*).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline