Lihat ke Halaman Asli

'Mak Linggis': Menanti Detik-detik Kebebasan..

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1390801323660217335

"Saya Tak Pernah Menyesal Membunuhnya"

Mak Linggis, mungkin nama ini sudah tak asing lagi dikalangan penghuni Lapas Wanita klas II. Kasusnya? KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), membunuh suaminya dengan linggis. Bagaimana kisah wanita dengan nama asli Rosida, selama dibalik jeruji besi hingga ia akan menjalani Pembebasan Bersyarat (PB) awal Maret nanti? Adakah penyesalan yang tercipta karena membunuh suami yang sudah hidup bersama dia dan anak-anaknya selama 29 tahun? Simak curahan hatinya berikut ini..

Makan Hati

Bercengkrama dengannya, wanita ini layaknya seorang ibu pada umumnya. Kala itu, penampilannya menunjukkan kesederhanaan, dengan mengenakan atasan kaos dan celana dasar, dibalut baju tahanan Lapas Wanita Klas II A yang berada di Jalan Merdeka Palembang.

Namun, julukan ‘Mak Linggis’, mampu membuat orang bergidik sesaat. Ya, siapa yang tidak mengenal Rosida alias ‘Mak Linggis’, terpidana 9 tahun penjara yang kini sudah menjalani hampir sepertiga masa tahanannya, yakni 4 tahun 5 bulan di Rutan Mawar 01.

Mungkin, inilah pepatah yang mengatakan kesabaran manusia ada batasnya. Meski sabar itu tiada batas, namun terkadang manusia itu sendiri yang membatasinya. Inilah yang dialami wanita yang sudah menginjak usia 49 tahun. Ibu empat anak ini membunuh suaminya, Rojamin (52) pada 21 Agustus 2009 lalu, tepat di Malam Jumat.

Cerita demi cerita mengalir, saat ia mengenang peristiwa berdarah itu. Ia dengan sadar memukul sang suami dengan menggunakan linggis di bagian leher, saat sang suami tertidur pulas. Lalu, ia menyabet parang di tengah batang hidung suaminya, hingga kepalanya terbelah dua.

Saya sempat bergidik sesaat, hingga ia (Mak Linggis, red) mencairkan suasana dengan tersenyum tipis. Mengapa ia tega melakukan tindakan sekejam itu?

“Selama 29 tahun, saya makan hati. Saya sangat tertekan, karena selalu disiksa dia (suami, red). Ia bisa memukuli saya dengan barang apa saja yang ada di sekitar kami saat ia sedang marah. Kayu, ember, bahkan barang-barang berat lainnya, tak pernah ia perduli rasa sakit yang saya rasakan selama itu,” ujar perempuan paruh baya kelahiran SP Padang OKI, 9 November 1965 silam ini.

Mengapa bertahan disiksa sang suami bertahun-tahun lamanya? “Saya mencintai suami saya. Saya pikir, dengan memiliki anak, dia akan berubah. Tetapi harapan saya sia-sia. Sampai anak keempat lahir, ia masih saja melakukan kekerasan kepada saya dan anak-anak. Saya sedih, dan terluka. Keluarga tak bisa ikut campur dalam masalah ini selama 29 tahun, karena saya cinta sama suami,” tuturnya bercerita masa kelamnya.

KDRT yang ia alami, terkadang memang sudah diluar batas. Ia pernah terjun dari lantai dua rumahnya, karena tak tahan dipukuli suami saat ia pulang ke rumah. Padahal, saat itu ia tengah mengandung anak keduanya.

Berjudi dan Suka Main Perempuan

Puncaknya, pada malam dimana suaminya akhirnya ia habisi (dibunuh). Ya, sudah sejak lama, Rojamin senang berjudi. Ditambah suka main perempuan yang semakin membuat Mak Linggis sakit hati. Jika bertengkar, ia sering pulang ke rumah orangtuanya di desa Jejawi, Kabupaten OKI. Namun itu tidak berlangsung lama. Ia akan kembali ke rumahnya karena tak bisa menahan kerinduan dengan buah hati tercintanya.

“Dia suka memukuli saya kalau kalah berjudi. Mungkin kalau cuma itu, saya masih bisa bertahan. Saya mencintainya dan anak-anak. Harapan saya masih ada, ketika itu”.

Namun, harapan tinggal harapan. Sang suami malah tambah brutal ketika kalah berjudi ataupun uang habis. Rojamin yang berprofesi sebagai pelelang ikan, terkadang belum mencukupi kebutuhan keluarga. Hingga Mak Linggis mencari penghasilan tambahan dengan menjual ikan-ikan hasil lelangan suami dipasar.

“Saya selalu makan hati, setiap hari. Jika ikan-ikan tersebut lambat laku dan saya pulang sore, ia pasti marah. Sementara saya banting tulang berjualan di pasar, ia dengan seenaknya main perempuan. Anak pertama dan kedua kami, bahkan tidak diperbolehkannya melanjutkan sekolah, sehingga hanya bisa sekolah sampai tingkat SD,” sahutnya dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca.

Bejatnya lagi, sang suami juga tak peduli dengan hati istri dan anak-anaknya. Ia malah sering mengajak ‘madu’-nya untuk tinggal serumah dengan keluarga besarnya. Tak terperikan lagi rasa sakit yang mendera, namun Mak Linggis tetap bersabar.

Kala itu, kesabarannya pun habis ketika suatu hari ia diberitahukan anak keduanya, Etry, jika sang suami sudah mengasah parang untuk menggorok lehernya. Ia sendiri saat itu sedang berada di rumah orangtuanya, karena habis bertengkar dengan suaminya. Sang anak yang ketakutan, memintanya untuk tidak pulang. Dan yang lebih membuat kesabarannya tidak bersisa lagi, adalah sang suami mengusir anak-anaknya dari rumah dan pengakuan dari sang anak bahwa bapaknya akan mengajak wanita ke rumahnya dan menginap.

“Sudah habis kesabaran saya. Malam itu saya langsung berniat, biarlah ia yang mati daripada saya yang mati. Saya sudah tak tahan lagi melihat tingkah laku dan kekejamannya dengan anak-anak. Saya harus bertindak,” ujarnya dengan wajah tegang.Dan, terjadilah peritiwa berdarah yang menewaskan sang suami tercintanya.

Setelah membunuh sang suami, ia  segera membersihkan parang dan linggis yang berlumuran darah dikamar mandi. Anak-anaknya yang masih tertidur lelap, ia tinggalkan. Ia pun melarikan diri menggunakan sepeda motor sesaat setelah membunuh suaminya di tengah malam itu menuju kawasan Plaju. Dan menjelang shubuh, ia tertangkap di sekitar Pasar Plaju Palembang.

Tidak Pernah Menyesal

Kini, ia tinggal menunggu hitungan hari untuk kemudian mendapatkan PB. Banyak hal yang sudah ia lalui. Masa-masa di dalam tahanan menempanya menjadi pribadi yang lebih baik. Ia bahkan belajar membuat kerajinan tangan seperti keset dan manik-manik selama dipenjara wanita tersebut. Selain itu, ia pun disibukkan dengan permintaan mengurut ibu-ibu pengurus Lapas jika ada yang kebetulan sedang tidak enak badan.

Ia pun mengungkapkan rasa rindu yang begitu mendalam pada keempat anak dan dua orang cucunya. Ya, ibu mana yang tega meninggalkan anak-anak tercintanya, mendekam dibalik jeruji besi begitu lama. Apalagi, anak bungsunya kini baru menginjak kelas 6 SD. Anak pertama dan kedua sudah menikah, sedangkan anak ketiganya masih duduk di bangku SMA.

Namun, ketika Saya bertanya, apakah ada penyesalan karena telah membunuh suami yang dicintainya, dengan tegas ia menjawab, “Saya tidak pernah menyesal. Biarlah ia mati dalam kekejamannya. Biarlah ia tidak lagi ada disisi kami, agar kami bisa hidup tenang di dunia ini. Saya tidak akan menyesal, begitupula dengan anak-anak. Dan seluruh keluarga besar saya maupun suami, juga tidak menyesal. Bahkan adik kandungnya yang membantu saya agar mendapat keringanan hukuman dari tuntutan jaksa sebanyak 20 tahun penjara,” tandasnya. (nrl) Tulisan ini diterbitkan di Tabloid MONICA Sumatera Ekspress Group Edisi 141 Halaman 7 Rubrik Kisah Nyata..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline