Lihat ke Halaman Asli

Hindari Labirin dengan Sikap Visioner

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perumahan tempat saya tinggal, bukan tergolong perumahan elite. Bahkan untuk sekadar kategori medioker saja, tidak. Saya membelinya, awal 1990-an, ketika status saya masih karyawan kontrak. Jadi, ya segitu itulah kemampuan membeli rumah saat itu.
Karena bukan perumahan elite, jangan bayangkan fasilitas umum yang tersedia. Jangan bayangkan ada kolam renangnya, pusat kebugaran, atau fasum mewah lainnya. Jalannya saja tidak terlalu lebar (untuk tidak mengatakan sempit). Ketika ada dua kendaraan roda empat berpapasan, salah satunya harus mengalah, berhenti dan mepet ke pinggir, untuk  memberi kesempatan yang lain lewat, untuk kemudian dia sendiri bisa meneruskan perjalanan.
Ketika saya merenovasi rumah, saya sengaja menyiapkan space untuk garasi mobil. Padahal saat itu, sepeda motor saja masih kredit yang uang mukanya pinjam ke almarhum mertua. Namun, saya sudah bermimpi bahwa suatu saat kami akan mampu membeli mobil. Jadi, ketika saat itu tiba, saya tidak akan kesulitan lagi untuk menempatkan mobil. Kalau pun ternyata mimpi itu tidak kesampaian, biarlah garasi itu menjadi ruang terbuka yang lapang.
Saya termasuk penghuni pertama perumahan tersebut, yang sudah menempatinya bahkan ketika aliran listrik belum masuk ke sana. Karena itu, di perumahan, saya termasuk golongan ''sesepuh''. Sebagian besar penghuni lainnya berusia di bawah saya.
Meski tidak termasuk perumahan elit, para penghuninya bisa dikatakan berkecukupan. Bahkan bisa dikatakan berlebih. Setidaknya itu terlihat dari yang tampak belakangan, banyak di antara para penghuni yang mampu membeli mobil. Hebatnya, semuanya baru. Bukan mobil second hand. Lebih hebat lagi, bahkan ada yang sampai memiliki lebih dari satu. Saya pun menggumam dalam hati. ''Alhamdulillah, penghuni perumahan ini sudah pada makmur.''
Maka, yang terlihat saat ini, jalanan perumahan yang sudah tidak terlalu lebar tersebut kini layaknya show room mobil. Di pagi hari, suasana berubah menjadi bengkel yang dipenuhi dengan deru mesin mobil yang sedang dipanasi untuk siap digunakan beraktivitas.
Saya tidak yang termasuk dalam aktivitas seperti itu, karena mobil saya berada di dalam garasi. Tidak terparkir di jalan depan rumah seperti para penghuni lain. Saya pun memanasi mobil sore hari, karena memang baru akan bekerja di sore dan malam hari.
Situasi di perumahan saya itu terjadi, karena sebagian besar penghuninya tidak memiliki pemikiran yang visioner. Ketika merenovasi rumah, mereka tidak berfikir atau tidak punya mimpi bahwa suatu saat mereka akan memiliki mobil. Jadinya, ketika mereka mampu membeli mobi, mereka tidak memiliki tempat untuk memarkirnya. Tidak ada pilihan lain, ya jalan di depan rumah masing-masing.
Sebenarnya, bagi saya sih tidak masalah. Toh itu mobil-mobil mereka sendiri. Toh itu jalan di depan rumah mereka sendiri. Sedikit masalah adalah karena saya memang orang tidak normal. Ketika para penghuni lain sudah memanasi mobilnya untuk beraktivitas, saya membiarkan saja mobil saya di garasi, yang bahkan mungkin mesinnya malah perlu didinginkan, karena masih panas setelah pulang kerja kepagian.
Ketika para penghuni lain belum pulang, saya bisa mengeluarkan mobil dari garasi dengan lapang, karena jalan di sepanjang gang rumah saya masih steril dengan mobil-mobil penghuni lain. Masalah baru muncul ketika saya pulang lewat dini hari. Saat itu, jalan-jalan di perumahan saya, penuh dengan mobil para tetangga, yang karena tidak memiliki garasi, terpaksa diparkir di sana.
Saya sering berkelakar dengan anak dan istri, menuju rumah dini hari sepulang dari kantor, rasanya seperti berjalan di labirin. Masuk gang pertama tidak bisa, karena jalannya penuh dengan mobil parkir, yang sering kali posisinya zigzag. Mundur lagi, cari gang berikutnya. Harus balik lagi, karena ternyata di ujung gang yang satunya, portal sudah ditutup. Biasanya, setelah masuk-keluar masuk keluar 4-5 gang, baru saya bisa sampai di rumah. Itu pun dengan sedikit susah payah, harus mrepet-mrepet untuk mencari celah antara mobil yang diparkir dan pagar rumah di seberangnya.
Tidak jarang, ketika saya merasa capai sekali dan tidak ingin bermain labirin, saya memarkir mobil di halaman mushala. Baru besoknya, ketika mobil-mobil yang lain sudah meninggalkan perumahan, saya memindahkannya ke garasi. Kadang ada fikiran negatif juga. ''Saya ini punya garasi, kok malah harus ngalah dengan mereka yang tidak punya garasi.''
Situasi seperti sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita memiliki pandangan yang visioner. Memiliki gambaran seperti apa kehidupan kita di masa datang. Memiliki mimpi yang ingin diraih dan dikejar. Namun saya sadar, ternyata memang bukan orang kita saja yang tidak visioner. Pemerintah kita pun juga tidak. Pemerintah hanya bekerja dan membuat program jangka pendek untuk kepentingan dan kondisi yang terjadi saat ini. Mereka tidak berfikir bagaimana kehidupan di masa datang, sehingga program dan langkah yang dibuat sekarang pun seharusnya sudah menyesuaikan dengan kondisi yang mungkin terjadi di masa datang.
Contoh paling nyata adalah saat pembangunan jalan. Pemerintah hanya mikir ya bangun jalan saja. Tidak memprediksi kira-kira kebutuhan apa yang akan muncul di masa datang. Maka yang terjadi, ketika harus membuat saluran PDAM, jalan yang sudah bagus itu pun dibongkar untuk  menanam pipa PDAM. Jalan digali, pipa dipasang, dan kemudian jala ditutup lagi.
Belum lagi penutupan kembali jalan itu sudah rata, harus digali lagi untuk penanaman kabel telepon. Jalan digali lagi, kabel telepon ditanam, jalan pun ditutup kembali.
Terulang lagi, ketika penutupan jalan itu belum juga rata, sudah muncul program baru pemasangan jaringan pipa gas. Maka, sekali lagi, jalan digali, untuk memasang jaringan pipa gas, ditutup lagi.
Ternyata itu belum  berakhir. Karena sering banjir, maka diputuskan untuk memasang box cluvert. Maka, jalan yang tidak sempat rata itu, harus dibongkar lagi. Kali ini lubang yang dibuat malah lebih besar karena tidak hanya untuk menanam pipa, namun box cluvert yang ukurannya jauh  lebih besar.
Mengapa ya pemerintah kita tidak belajar dari bangsa dan negara lain? Mengapa kita hanya belajar dan meniru budaya pop bangsa lain, namun tidak untuk hal yang sebenarnya lebih bermanfaat?
Di negara-negara yang sudah maju, ketika membangun jalan, mereka sudah menyiapkan saluran besar di bawahnya. Pernah liat film-film Hollywwod yang menampilan lorong-lorong di bawah jalan. Lorong-lorong itu adalah saluran yang sudah disiapkan untuk kepentingan apa saja di masa depan. Begitu besarnya saluran itu, kalau kita lihat di film-film Hollywood bisa dilewati dengan berdiri. Bahkan ada sebuah film yang menggambarkan kejar-kejaran  mobil di dalam saluran di bawah jalan.
Dengan adanya saluran di bawah tanah tadi, ketika suatu saat pemerintah kota perlu memasang jaringan air minum, misalnya, mereka tidak perlu membongkar jalan. Tinggal menjulurkan pipa-pipanya lewat saluran tadi. Demikian  juga ketika ada pemukiman baru yang perlu jaringan telepon atau gas. Sudah tersedia jalur untuk memasang jaringan tersebut, tanpa perlu menggali dan  membongkar jalan.
Di Tiongkok, saat membangun apartemen, juga disediakan saluran di dinding-dinding kamar. Saluran itu disiapkan jika pemilik kamar nanti mau memasang telepon, atau keperluan jaringan lain. Perkara mau dipakai apa tidak, tidak masalah. Yang penting, ketika pemilik kamar akan menggunakannya, sudah tersedia jalurnya. Tidak perlu harus ''ndodol'' tembok untuk memasing kabel telepon.
Ternyata berfikir visioner itu penting. Jangan hanya melakukan sesuatu hanya untuk program jangka pendek dan kebutuhan sekarang. Perlu dipertimbangkan kemungkinan dan perkembangan yang akan terjadi di masa datang.
Andai saja, sebagian besar penghuni perumahan tempat saya tinggal berfikir visioner saat merenovasi rumahnya, saya tidak perlu ''bermain'' labirin setiap dini hari sepulang kantor. Mungkin  semakin  banyak jamaah yang bisa salat subuh di musala, karena bisa menempati halamannnya, yang saat ini harus jadi tempat parkir mobil saya. (Cek adohe...rek).
Saat pertama kali arena bermain Walt Disney diresmikan, yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Di acara launching kehadirannya diwakili sang istri. Di pidato pembukaannya, walikota menyampaikan ungkapan sebagai berikut. ''Seandainya, Walt Disney bisa melihat ini, beliau pasti akan sangat senang dan bahagia.''
Istri Walt Disney menjawab: ''Dia sudah melihat dalam mimpinya ketika merencanakan pembangunan tempat bermain  ini.''
Beruntung saya dulu sudah bermimpi memiliki mobil, sehingga sudah menyiapkan garasi saat renovasi rumah. Jika tidak, mungkin setiap pagi pagi, banyak tetangga saya yang mengetuk pintu. ''Pak Rukin, tolong mobilnya dipinggirkan dulu, kami mau lewat.''
Ya karena tidak memiliki garasi, jadi saya ikut memarkir mobil saya di jalan depan rumah, sehingga menghalangi kendaraan lain. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline