Lihat ke Halaman Asli

Kebudayaan Online dan Kebudayaan Offline

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dewasa ini, kebudayaan dipahami sebagai sebuah tradisi kemasyarakatan yang telah dibentuk sejak nenek moyang (Artefak). Yang kemudian hanya diselenggarakan atau dipentaskan dalam acara-acara kemasyarakatan atau hari-hari peringatan tertentu. Dengan beragamnya kebudayaan, kini masyarakat tidaklah lagi memahami kesungguhan makna dan filosofi dari pada kebudayaan itu. Hal itu dikarenakan, kebudayaan yang mereka terima saat ini hanyalah kebudayaan yang hanya berasal dari  peninggalan orang-orang dizaman dahulu kala.

Bila demikian, maka kebudayaan itu hanyalah kebudayaan yang bersifat spasio temporal dan bertumpu pada masyarakat zaman purba saja, tanpa mencoba menulusuri makna dan batin dari pada kebudayaan tersebut secara mendalam.

Teoritisasi Kebudayaan

Kebudayaan, secara teoritis merupakan sebuah cara pandang manusia tentang kehidupan dan hasil keberfikiran manusia yang terjelma dalam kehidupan praktis sosiokultural. Kebudayaan adalah hasil dan kreatifitas berpikir manusia yang bersemayan didalam aktifitas dan rutinitas manusia demi perwujudan atau pengawalan sebuah hidup kesederhanaan yang dinamis dan suci.

Awal kemunculan agama dalam ruang sosial, merupakan sebuah kreatifitas “tuhan” dalam menjaga dan melestarikan Muhammad Saw dan seluruh ummatnya yang ada secara harmonis. Penurunan agama dan menjadi lokus dalam medan sosial juga merupakan kreatifitas nabi dalam membedung keterhubungan seluruh alam semesta dengan allah swt secara eksistensial.

Karena, agama hadir sebagai infastruktur dalam mengorganisasikan dan menetapkan sebuah tatib tentang  kesebenarnyaan dalam hidup. Maka dari itu, agamapun dapat diterima oleh keseluruhan mayoritas yang ada.

Kemudian, dengan melaju dan berjalannya kehidupan beragama dan konsepsi keagamaan ini dalam internalisasi serta eksternalisasi kehidupan sosial maka, keterhubungan antara keyakinan keagamaan dan konsepsi keagamaan dapat pula termaktub dalam pentas dan dialektika kehidupan sosial yang terbendung dalam sebuah kebudayaan yang suci.

Dengan kata lain, ketika telah terjadi saling sinergis antara pemahaman keagamaan dan fakta keagamaan sebagai infastruktur dalam jalur penetapan gerak penyempurnaan, maka itulah kebudayaan yang sesungguhnya atau kebudayaan sejati. Artinya, Bila pemahaman keagamaan dan fakta keagamaan dapat diselir pada diri seorang manusia dan mengalami sebuah perkembangan dalam kehidupan sosialnya maka, orang tersebut telah membudayakan pahaman keagamaanya dengan fakta keagamaan dalam segalah pijakannya.

Dengan demikian, bila kita bermaksud mempertahankan antara konsepsi keagamaan dan fakta keagamaan(fakta keagamaan artinya, adalah keyataan terhadap hukum-hukum agama), dalam kehidupan kita secara rutin maka itulah kebudayaan allah. Dimana, apabila kita telah menjalani konsepsi agama dalam praktik keagamaan maka, dengan sendirinya kita telah menerapkan “kebudayaan online” secara tepat. Namun apabila, konsepsi keagamaan dan praktik keagamaan kita tidak teraktual dalam praktik kehidupan seharian kita maka, kita telah menjalankan sebuah kehidupan yang ofline.

Kenapa demikian? Karena beginii, bila kita tidak menjalani antara konsepsi dan praktis keagamaan tersebut, maka, keterhubungan kita dengan Allah Swt dalam ruang sosial mengalami suatu keadaan ofline dan tak dapat berkomonikasi secara terus menerus. Adapaun suda menjadi kepatian bahwa allah sudalah tetap online, namun kita terkadang mengalami kondisi ofline dan itulah yang membuat kita akan kehilangan apa-apa yang menjadi mendasar bagi kita.

Sedangkan, apabila kita menerapkan hubungan konsepsi dan praktik keagaaman sebagai sebuah kerutinan kita dalam menapaki hidup ini, maka, niscaya kita tetap berada dalam garada yang selalu terhubung dengan allah swt secara tersus menerus  hingga di akhir hayat pun.

Tuan-tuan dan puan-puan, itulah kebudayaan, bila kita mampu menjaga konsepsi dan praktis keagaaman kita secara totalitas, maka dalam kondisi dan keadaan apa-pun kita akan selalu dan senantiasa berada dalam keadaan yang “online” dengan allah swt.Akan tetapi jika sebaliknya, maka itu bukanlah kebudayaan yang online, melainkan kebudayaan ofline, dan kebudayaan seperti ini mestilah ditelusuri filosofi dan pemaknaan atas dirinya.

Keharusan  masyarakat dalam berbudaya

Artinya, masyarakat mestilah meninjau kembalai makna dan filosofi kebudayaan yang kini menyejarah. Sebab kebudayaan bukanlah sekedar kebudayaan yang hanya dibuat begitu saja dan tanpa ada suatu makna dan filosfi, juga tak sekedar itu, kebudayaan mestilah dapat mengalami suatu keadaan domain dengan ideologi, karena, kebudayaan tidaklah terlepas dari pada idiologi.

Maka dari itu, dengan kegeragaman kebudayaan yang ada, tampaknya tidak  memberikan sebuah kesadaran intelektual yang dapat menghantarkan manusia pada suatu keadaan kebudayaan dengan allah swt secara online. Hal yang sama juga pada ruang sosial, dimana kehilangan sinyal manusia dengan allah untuk mencapai titik online agar dapat menjalani kehidupan sosialnya secara tepat dan relevan. Apalah daya, semua itu, hanyalah upaya utopis masyarakat sosial, mereka hanya mempermainkan budaya sosial sebagai budaya ofline dan tak menetapkan kesungguhan budaya sosial secara online. Itu saja




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline