Lihat ke Halaman Asli

R Iman

Penulis picisan

A Posteriori

Diperbarui: 14 Agustus 2020   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Azan zuhur seperempat jam berlalu. Mentari masih hemat memancar; kikir membagikan energi. Tak jauh berbeda pada beberapa hari ini. Sebagian orang tenang berujar bahwa ini adalah masa transisi menuju musim kemarau. Cuaca sedang tak menentu, anggapan beberapa orang lainnya.

Sejak beberapa hari ini, selepas zuhur, hujan selalu turun. Lama. Bahkan sangat lama, karena ada kalanya berhenti menjelang tengah malam. Kini, jalan-jalan yang biasanya memamerkan hilir mudik berbagai merk kendaraan roda dua dan empat, cukup lengang.

Kecuali barisan tak rapat gerobak para pedagang yang tak acuh dengan situasi. Semilir angin dingin sudah sangat karib dengan kesehariannya. Wajah-wajah pendorongnya  memandang nanar genangan air pada jalan berlubang. Monolog batin mereka ramai saling menimpali: ratusan, atau malah lebih. Dengan tajuk yang sama. Mereka yang terlupakan dan terbius janji manis makhluk-makhluk yang duduk di belakang meja bersenjatakan teori dan janji seabreg.

Ini gegara virus Cina itu yang mengakibatkan roda ekonomi rakyat lesu. Ah, ini mah takdir Mahakuasa yang memang tak selamanya mengenakkan. Kita hanya wajib ikhtiar dan berdoa, hasilnya Allah yang menentukan. Pasrah. Kalimat-kalimat penghibur itu terkadang tercetus pula dari beberapa pembeli yang ikut nimbrung obrolan antara mereka senasib.

Berjarak beberapa meter di pinggir roda dagangan mereka, di balik jendela kaca sebuah rumah berukuran sedang, seorang anak usia belasan tahun sedang asyik menatap gawainya. Tatapan matanya sesekali diimbuhi helaan nafas panjang dan kedipan lambat. Entah berapa kali mulutnya refleks menggumamkan kata "ah" malahan dengan bunyi vokal /a/ yang berderet-deret.

Senyumnya mengembang juga tatkala dia dapati pesan dari aplikasi obrolan yang sengaja dia senyapkan dan tanpa getar. Itu pun tak dibacanya secara fokus, karena pandangannya bolak-balik melirik ke arah pintu ruang tengah. Dia malu bila sosok perempuan yang kali ini jadi supervisornya kembali bergeleng-geleng kepala saat didapatinya dia tengah serius ngobrol dengan perempuan adik kelasnya. Penyemangat. Malu juga rasanya.

Rupanya dia tengah disibukkan oleh tugas-tugas untuk mengganti pembelajarannya yang tergusur ke rumah. Tugas yang dilakoninya secara daring lewat media internet. Sudah masuk hitungan minggu ketiga model belajar macam itu. Bosan dia rasakan dengan kesehariannya bila terus begitu. Sama halnya dengan kejenuhan atau malah jauh lebih jenuh yang dirasakan ibunya karena harus bertindak sebagai guru judes alias killer agar dia serius belajar tak melulu melipat mata saat hari mulai beranjak siang. Hasrat bermainnya mulai meronta. Bukan hanya miliknya hasrat itu. Tapi milik semua sebayanya. Bahkan bisa jadi orang seantero negeri ini sedang dihinggapi kegelisahan. Kebosanan. Menua dengan aktivitas seputar rumah. Virus mematikan itu penyebabnya. Sepakat semua.

"Mau ke mana, A?"

"Beli baso, Mah... lapar!" 

Suara denting mangkuk si pedagang membuyarkan  konsentrasi belajarnya. Yang muncul dengan segera adalah selera makannya.

*

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline