Lihat ke Halaman Asli

Rufman I. Akbar

Dosen di Tangerang Selatan

Proses Pencapaian Jabatan Profesor

Diperbarui: 29 Juli 2024   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Profesor. (Sumber: KOMPAS/HERYUNANTO)

Di balik gelar prestisius "Profesor" di Indonesia, tersembunyi carut-marut proses pencapaian yang kerap menjadi sorotan. Birokrasi yang berbelit, standar yang ambigu, serta praktik kurang etis menjadi batu sandungan bagi para akademisi yang berjuang meraih gelar ini.

Salah satu masalah utama adalah lamanya proses pengurusan berkas dan penilaian angka kredit. Seringkali, dosen harus menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk mendapatkan kepastian status pengajuan profesor mereka. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan frustrasi, terutama bagi mereka yang telah memenuhi syarat akademik.

Selain itu, standar penilaian yang kurang jelas dan konsisten juga menjadi masalah. Kriteria penilaian seringkali bersifat subjektif dan bergantung pada interpretasi tim penilai. 

Akibatnya, ada dosen yang merasa dirugikan karena hasil penelitian mereka tidak dihargai secara adil, sementara yang lain mungkin mendapatkan kemudahan karena memiliki koneksi atau relasi tertentu. 

Jika terjadi perantian reviewer, maka tidak jarang penilaian objek menjadi berubah. Poin-poin yang sudah di setujui reviewer sebelumnya, menjadi hal yag dipertanyaan atau bahkan ditolak oleh reviewer baru. 

Terkadang sebaliknya. Selain kualitas reviewer, kuantitasnyapun sering bermasalah. Terkadang sudah enam bula lebih setelah pengajuan, tetap belum di review -- dengan alasan belum tersedia reviewer alias antrian Panjang.

Praktik kurang etis seperti plagiarisme, jual beli jurnal, dan manipulasi data penelitian juga menjadi momok dalam proses pencapaian profesor. Jurnal-jurnal predator pun juga bermunculan di Indonesia. 

Meskipun ada sanksi bagi pelaku kecurangan, namun penegakan hukum yang lemah membuat praktik ini masih marak terjadi. Hal ini tentu saja merusak kredibilitas gelar profesor dan merugikan akademisi yang bekerja keras dengan jujur.

Carut-marut ini tidak hanya merugikan individu dosen, tetapi juga berdampak pada kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. 

Dosen yang frustrasi dengan proses birokrasi mungkin kehilangan motivasi untuk berkarya, sementara praktik kecurangan merusak integritas akademik. Beberapa orang yang frustasi, akhirnya membatalkan proses untuk menjadi professor dan memilih pension dari dosen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline