Lihat ke Halaman Asli

Seuntai Kasih Sayang untuk Sahabatku, Tuna Grahita

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita berawal dari sini, memulai hari yang indah bersama kawan adalah anugerah terindah bagi seorang remaja. Apa lagi disibukkan dengan hal kebaikan, merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya. Menjadi remaja yang benar-benar normal, baik secara fisik dan psikis adalah sebuah kenikmatan yang jarang disadari oleh kebanyakan remaja, tak terkecuali aku sebagai seorang pelajar SMA yang disibukkan dengan rutinitas belajar, beribadah dan tak pernah sadar jika hal yang ‘bisa’ dan ‘biasa’ kulakukan adalah sebuah anugerah. Sampai pada suatu hari, ketika ku disibukkan dengan aktivitasku sebagai aktivis di salah satu organisasi yang ada di sekolahku, aku baru menyadari betapa karunia dari Yang Maha, yang tak pernah aku eja selama ini ternyata hampir saja meluputkanku dari mereka. Ya kawanku, saudara seimanku, saudara sebangsaku, yang berkelebihan…..

“Mereka juga bisa sholat, pak?

“Apa mereka juga bisa hafal surat-surat di Al-Qur’an?” teman-temanku saling melempar pertanyaan.

“hmm.. untuk bisa alfatihah saja sudah kemajuan yang sangat pesat, mbak.. apalagi untuk hafalan.. yah., sulit mbak.. mbak tadi kan bisa melihat sendiri.. bagaimana mereka diajari mengenal bentuk tubuuh, mencocokkan gambar wajah, dimana letak hidung, telinga, ya, sederhana mereka bisa diajari ini itu.,tapi dengan mudah mereka lupa.. yah.,kita harus maklum.,kemampuan mereka terbatas..” terang petugas balai.

Aku hanya mangut-mangut. Pikiranku yang tadi buyar karena sesuatu hal tiba-tiba terfokus oleh slide-slide yang menampilkan betapa kerasnya kemauan mereka terhadap dunia. Mereka ingin mengenal dunia, namun seolah-olah dunia tak ingin mengenal mereka.

“IQ mereka rendah.,semakin ke bawah ya jadinya semakin kayak gini..” celoteh bapak petugas.

Kami hanya bisa menyaksikan seorang ‘pemuda’ yang mungkin bisa dikatakan ber-IQ di bawah 80, sedang senyum-senyum geli melihat kedatangan kami. Mencium bau badannya sendiri, mendengus, melihat kea rah kami, dan tertawa sembari menunjuk kami. Tak tahu maksud perilakunya, namun karena sesuatu sebab yang sudah ditakdirkan Tuhan bagi mereka, down syndrome.

“yo.. iki gambar gajah…wes apikk.. lha iwak’e ndi,,iwak’e ngko cilik werno kuning yo..”

--ya ini gambar gajah.,sudah bagus,, lha ikannya mana,, ikannya nanti kecil, warna kuning ya..—kata petugas.

Dengan tapak kaki yang tak ragu-ragu kulangkahkan, antusias mereka untuk ‘mengenali’ dunia semakin terasa. Aktivitas mereka yang memang sederhana, namun sangat berarti bagi mereka. Bahkan mereka bisa membuat pekerjaan mereka sendiri dan bahkan bisa bekerja layaknya orang normal dengan segala ‘keterbatasan’ yang mereka sulap menjadi ‘peruntungan’. Di balai yang kukunjungi ini, para penyandang down syndrome tak hanya diajari berhitung yang ‘sangat dasar’, namun juga kemampuan beraktivitas normal agar mereka bisa diterima sebagai layaknya masyarakat tanpa ada pengucilan meskipun mereka punya kekurangan.

Walau kadang keadilan itu pahit, namun kenyataan tak jauh menyakitkan. Tak sedikit dari kami yang meneteskan air mata,beristighfar, berhamdalah ria, tersenyum haru melihat kobaran api semangat yang muncul di muka-muka tanpa lelah ini. Betapa bahagianya memiliki kenormalan sebagai manusia, mampu beraktiviats normal tanpa pandangan sebelah mata dari orang lain, yang tentu..sangat jarang mereka peroleh.

Wajah mereka memang nampak tua, bisa diperkirakan umur mereka 20-25 tahun, namun tak ubahnya anak TK yang baru belajar menggambar. Mereka memang perlu dibimbing, tak hanya dibimbing kukira.,namun juga dituntunkarena kemampuan yang amat minim. Mereka diajarkan menyapu, mengepel, dan tak luput juga kemampuan bekerja seperti massage, bercocok tanam, cara membuat telur asin, bermusik, berternak. Ya, mereka diajarkan cara untuk berinteraksi dengan dunia. Walaupun mereka secara mental memiliki kekurangan, namun mereka masih punya hati yang masih bisa digunakan untuk berpikir, ya, mereka masih punya hati.

Ku berjalan semakin cepat, mendekati suara celoteh khas anak-anak yang bernada dewasa di sana. Ya, kutemukan lagi manusia super yang semangat hidupnya kadang mengalahkan manusia normal lainnya. Suara celoteh aneh yang sukar dimengerti maksudnya. Tatapan tak berdosa dari para tuna granita ini? Bukankah ini bentuk keadilan Yang Maha?

Itulah sedikit gambaran, betapa hal mudah begitu menjadi sulit untuk mereka. Menjadi manusia yang normal adalah hal biasa, namun menjadi manusia yang berpikir normal tanpa memandang remeh orang yang punya ‘kelebihan’ adalah bukti nikmat sebagai seorang insan. Kisah mengharu biru dari beberapa manusia yang ingin mendapatkan kehidupan yang ‘layak’ yang tak selalu direndahkan dan dianggap sebelah mata adalah sebuah peringatan bagi kita, manusia yang bisa membaca dan berpikir untuk tak lantas memandang kekurangan sebagai kekurangan saja, namun juga kekurangan sebagai kelebihan.

Jangan sekali-kali menganggap remeh kekuatan manusia, karena sekalipun Tuhan tidak pernah (novel 2-donny dhirgantoro)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline