Apalagi Anda seorang yang gemar pada sejarah, tentunya Anda sudah tidak asing lagi dengan nama-nama yang dua di antaranya paling kesohor yaitu Gajah Mada dan Hayam Wuruk.
Jika diperhatikan, kedua negarawan tokoh itu masing-masing Perdana Menteri dan Prabu Majapahit. Yang berlokasi di Jawa kuno.
Para ahli sejarah dan arkeolog sependapat jika nama-nama hewan memang banyak digunakan, terutama untuk menunjukkan identitas jika si pemilik nama hewan itu adalah seorang militer pada zamannya.
Dua hal mengapa orang-orang Jawa Kuno menggunakan nama-nama hewan adalah karena orang-orang Jawa Kuno pada saat itu masih beragama Hindu dan nama-nama hewan yang memang dihargai dalam mitologi Jawa Kuno.
"Nama-nama hewan cukup banyak ditemui pada karya sastra Jawa kuno seperti Ranggalawe dan Pararaton," kata Ahli Epigrafi dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI), Sasongko, minggu kemarin, dalam Diskusi Epigrafi Nusantara.
Menurut Sasongko, nama-nama binatang itu bukan saja dipakai dalam panji-panji. Panji adalah bendera. Dalam kaitannya dengan kemiliteran, panji merujuk kepada pangkat-pangkat kemiliteran jaman itu. Kalau sekarang kita kenal pangkat-pangkat militer ini seperti jenderal, kapten, letnan, dan seterusnya.
Toh, nama pangkat-pangkat kemiliteran tersebut belum ada pada zaman Jawa kuno itu?
Sebagai contoh Gajah (Mada). Gajah adalah binatang yang dijadikan fungsi sebagai kendaraan yang ditunggangi Airawata, Dewa Hindu.
Menurut Sasongko, penelitian tentang pemakaian nama-nama binatang pada zaman Jawa kuno ini masih sangat terbatas. Namun hal tersebut sempat tersirat dalam tulisan beberapa peneliti dunia.
Sasongko yang meneliti sendiri mendapatkan jika hewan-hewan yang dijadikan nama adalah nama-nama binatang yang eksis di Pulau Jawa. Seperti lutung, kuda, burung, gajah, kebo, lembu, menjangan, dan sebagainya.
"Ekosistem hewan-hewan endemik itu cukup berpengaruh dalam kemunculan fenomena ini," kata Sasongko.