Dalam hukum ekonomi yang pernah saya pelajari menyebutkan, harga-harga barang atau jasa akan naik seiring dengan permintaan akan barang atau jasa itu yang meningkat.
Seperti tahun-tahun lalu, memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri, permintaan barang-barang atau jasa-jasa, teristimewa yang berbahan tekstil melonjak drastis ketimbang hari-hari biasanya.
Keuntungan pun setidaknya diraih para pedagang rantai tekstil tersebut, mulai dari toko pakaian, distributor, sampai kepada pabrik tekstil nya.
Untuk memutus mata rantai penularan virus korona, pemerintah akhirnya memberlakukan larangan mudik mulai berlaku 24 April 2020.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tak pelak, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sangat terpukul dengan dikeluarkannya larangan mudik lewat keputusan Bapak Presiden itu.
Sebagai ganti berkerumun yang dilarang, halal bihalal atau silaturahmi Idul Fitri tahun ini dianjurkan agar lewat video call atau media sosial saja.
Industri tekstil mendapat tamparan keras, karena tahun ini mereka tidak dapat merengkuh pemasukan yang semestinya sudah "gol".
"Pasar sudah sepi jauh-jauh hari," kata Rizal Tanzil Rakhman, Sekretaris Eksekutif API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), Sabtu (25/4/2020).
Diamini Rizal, serangan korona kali ini dampaknya lebih parah daripada krisis moneter tahun 1998.
Akibat produksi anjlok sampai 70 persen, mengakibatkan pabrik-pabrik tekstil kehilangan pemasukan, padahal biaya-biaya pabrik tersebut sangat besar harus ditanggung setiap bulannya.
Anjloknya 70 persen tersebut berarti minus 4,6 juta ton dari produksi sebelum adanya pandemi. Ibaratnya mesin produksi itu 100, maka mesin itu sekarang hanya 30 yang berjalan. Bahkan menurut Rizal banyak juga yang sudah tutup total.