Mantan penderita tuberkulosis sekaligus pendiri Peta (Pejuang Tangguh), organisasi dukungan penderita tuberkulosis, Ully Alawiyah, mengatakan bahwa seorang penderita TB mengalami beban psikologis yang berat. Menurut Ully, ada anggota keluarga pasien TB yang mengucilkan si penderita TB, termasuk juga mengharamkan tempat tidur, waktu makan, dan alat makan si penderita.
Menurut DR dr. Erlina Burhan, M.Sc., Sp.P(K), staf pengajar Departemen Pulmonologi dan Respirologi FKUI/RSCM Persahabatan, tidak perlu sampai menjauhkan alat makan atau handuk. Stigma ini harus dibuang jauh-jauh. "Tuberkulosis tidak menular lewat peralatan makan, tetapi dari percikan darah yang mengandung kuman TB," katanya.
Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan kasus tuberkulosis terbesar di dunia. Sejatinya tuberkulosis dapat disembuhkan dengan lingkungan yang sehat dan kepatuhan berobat.
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan di negeri ini diperkirakan ada 842.000 penderita TB, dimana 39 persen di antaranya belum terdeteksi.
Wiendra Waworuntu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, mengatakan pemerintah telah merancang untuk menyegerakan pencapaian Indonesia bebas TB, yaitu pada 2030.
Dari target 70 persen angka temuan kasus baru, baru tercapai 61 persen pada 2018. "Harus didorong menemukan penderita untuk diobati," kata Wiendra dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret setiap tahunnya.
Semula, TB masih dicap stigma sebagai penyakit kutukan.
Namun, stigma tersebut perlahan semakin memudar sejalan dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat dan upaya pemerintah memberantas TB.
Namun masif program pemberantasan TB tersebut masih belum membebaskan negeri ini dari beban tuberkulosis.
Untuk itu sangat penting edukasi masyarakat tentang penyakit, cara penularan, dan cara pengobatannya.
Respons positif dari masyarakat dan dukungan keluarga untuk pengobatan sangat menentukan keberhasilan terapi tuberkulosis.