Berdasarkan UU 17/ 2008 Tentang Pelayaran maka yang bertanggungjawab mengenai kelancaran arus barang di pelabuhan adalah Kantor Otoritas Pelabuhan. Di berbagai media masa kita dapat menilai sendiri bahwasannya Kantor Otoritas Pelabuhan dalam hal menyelesaikan kendala kelancaran arus barang di pelabuhan itu tidak dapat hanya sekedar pernyataan tetapi harus bertindak. Dikatakan bertindak maka wujudnya harus nyata sebagaimana kalau kita membaca di berbagai media masa bagaimana Ibu Susi sebagai Menteri menyelesaikan permasalahan ikan (aset negara yang harus diselamatkan). Berdasarkan sumber lain bahwasannya ego sektoral itu sebenarnya akan hilang dengan sendirinya manakala Kantor Otoritas Pelabuhan berkoordinasi dengan sektoral terkait untuk mulai menyusun sebuah prosedur kelancaran arus barang yang berpusat pada satu titik layanan sebagai wujud nyata ketimbang sekedar pernyataan tidak boleh adanya ego sektoral. Sebagai contoh: Di Pelabuhan Tanjung Priok sekarang terjadi prosedural Pemeriksaan Wajib Karantina. Seyogianya Kantor Otoritas Pelabuhan sebagai Unit Kerja yang berinteraksi langsung di lapangan itu dapat segera menelaah kendala-kendala dalam Pemeriksaan Wajib Karantina lalu membuat substansi Executive Summary disampaikan kepada Menteri Perhubungan yang nantinya melalui Kemenko Bidang Kemaritiman sesuai dengan kewenangannya berkoordinasi dengan Lintas Sektoral Terkait sehingga dualisme di lapangan itu tidak terjadi lagi. Demikian pula sebaliknya jika Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada dibawah Menteri Keuangan beserta Menteri Pertanian yang ingin menerapkan wajib karantina maka sebelum menerapkan tindakan Pemeriksaan Wajib Karantina di lapangan itu; harus menyampaikan substansi Executive Summary kepada Kemenko Bidang Perekonomian untuk melakukan pembahasan koordinasi terlebih dahulu; sehingga Pengguna Jasa Pelabuhan itu tidak mengalami kendala dualisme di lapangan. Kondisi sekarang di Priok sebagaimana maksud di atas ini adalah sebuah indikator nyata bahwasannya koordinasi di lintas sektoral pemerintah saat ini tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Semua ketidakmengertian di lapangan itu pada hakekatnya bisa dipelajari oleh siapapun, tetapi mengurai semua permasalahan pelabuhan di lapangan itu lalu meng-kotak-kotak-an berdasarkan skala prioritas maka hal itu perlu melibatkan banyak pihak. LANDASAN KONSEP TOL LAUT Konsep Tol Laut itu hanyalah sebuah konsep yang diletakan di atas fondasi manajemen pelabuhan yang sudah solid sehingga dapat dirasakan manfaat percepatannya dan efisiensi Biaya Logistik.
Sangat berpotensi tinggi sekali bahwasannya jika penyelesaian kelancaran arus barang di pelabuhan ini tidak diselesaikan dengan cepat sebelum penerapan konsep Tol Laut. Ada banyak permasalahan lain di pelabuhan yang perlu dibahas sampai tuntas karena telah terjadi bertahun-tahun lamanya dan tidak dirubah sampai detik ini, antara lain: SIMPLIFIKASI KEPELABUHANAN Berdasarkan UU 17/ 2008 Tentang Pelayaran itu dibedakan antara Operator Pelabuhan dan Regulator Pelabuhan. Di bawah ini adalah perihal yang harus disederhanakan, yaitu:
- Sebelum kapal datang bertambat maka hanya ada 1 manifest inward yang disampaikan ke satu titik lalu di-broadcast ke Sektoral Instansi lainnya
- Sebelum kapal datang bertambat maka hanya ada 1 pemberitahuan kedatangan kapal yang disampaikan ke satu titik lalu di-broadcast ke BUP dan Sektoral Instansi lainnya
- Sebelum kapal datang bertambat maka hanya ada 1 perizinan kapal yang disampaikan ke satu titik lalu di-broadcast ke Sektoral Instansi lainnya
- Sebelum kapal datang bertambat maka hanya ada 1 dokumen yang disampaikan untuk pemanduan kapal sampai ke titik tambatan kapal
- Setelah kapal bertambat maka harus ada dashboard yang memonitor hidden agenda kapal berlama-lama berada ditambat kapal sehingga kapal berikutnya dapat segera dilayani
- Sebelum kegiatan bongkar muat itu dilakukan maka harus ada dashboard yang dapat memonitor ketersediaan lahan bongkar muat sehingga kapal yang berada di tambatan dapat dilayani secepatnya. Dengan demikian kapal berikutnya yang akan masuk tambatan dapat segera dilayani -- tidak berlama-lama di area labuh kapal
- Sebelum kapal berlayar maka hanya ada 1 manifest outward yang disampaikan ke satu titik lalu di-broadcast ke Sektoral Instansi lainnya
- Sebelum kapal berlayar maka hanya ada 1 pemberitahuan keberangkatan kapal yang disampaikan ke satu titik lalu di-broadcast ke BUP dan Sektorak Instansi lainnya.
- Sebelum kapal berlayar maka hanya ada 1 dokumen yang disampaikan untuk pemanduan kapal sampai ke titik labuh untuk berlayar
- Kapal tidak diperkenankan/ dizinkan berlayar jika Agen Kapal belum menyelesaikan semua kewajiban jasa kepelabuhanan terkait termasuk jasa bongkar muatnya
Selanjutnya mengenai PBM (Perusahaan Bongkar Muat). Jika player Bongkar Muat ingin bekerja di pelabuhan yang dikarenakan pelabuhan terbatas fasilitas alat bongkar muatnya maka harus dapat dipastikan bahwa player tersebut memiliki alat (bukan melakukan ousourcing lagi) dengan mitra lainnya sehingga BSH menjadi lama. Jika pelabuhan memiliki dana maka didorong pelabuhan tersebut memiliki fasilitas alat bongkar muat sehingga BSH terjamin JIT (Just-in-Time). Pengguna Jasa Pelabuhan yang terdiri dari Agen Kapal, PBM, dan Freight Forwarder itu direpotkan dengan kesepuluh prosedur di atas sehingga JIT tidak pernah tercapai dengan baik. Sistem INAPORTNET yang ada sekarang itu hanya meng-elektronik-an wara-wiri kesepulah poin di atas, padahal seharusnya di-sederhana-kan menjadi 1 dokumen, sehingga kapal tidak berlama-lama labuh di perairan, kapal tidak berlama-lama tambat di dermaga, dan tersedianya lahan penumpukan petikemas/ barang yang memadai serta Dwelling Time berkurang dan Pengguna Jasa terhindar dari Demurrage Cost yang mahal. Perihal Dwelling Time yang mana Pengguna Jasa terhindar dari Demurrage Cost maka yang diperlukan adalah bukanlah sebuah perhitungan Dwelling Time pada saat SESUDAH bongkar muat dilakukan tetapi perhitungan Dwelling Time YANG AKAN TERJADI jika perencanaan bongkar muat tersebut dilakukan. Jadi, yang diperlukan adalah sebuah sistem yang dapat memberikan berbagai POTENSI KEPADATAN yang akan terjadi sehingga dapat menjadi DSS (Decision Support System) untuk terhindar dari ketidaklancaran arus kapal dan barang di pelabuhan. Di bawah ini adalah ilustrasi yang menggambarkan ruwetnya wara-wiri dokumen di pelabuhan.
Sebagai Regulator Pelabuhan maka berdasarkan UU 17/ 2008 itu Pengguna Jasa dapat menikmati kenyamanan kelancaran. Tidak ada yang sulit menyederhanakan persoalan di atas, asalkan ada komitmen perubahan dan pasti didukung oleh seluruh Pengguna Jasa pelabuhan. PENGARUH MEA TERHADAP PELABUHAN Merujuk dari kondisi kesemrawutan di Pelabuhan Tanjung Priok yang telah dijabarkan di atas dan masih banyak hal lain yang perlu diselesaikan -- disederhanakan maka kita dapat merasakan sendiri bahwasannya diperlukan first thing first (prioritas) yang harus dirumuskan, dibakukan sebelum dana-dana subsidi dicairkan untuk penerapan konsep Tol Laut. Kita berada dipenghujung tahun 2014 dan akan memasuki tahun 2015 dan ditambah lagi dengan adanya pemberlakuan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) maka akan timbul lagi berbagai pertanyaan tentang bagaimana merapihkan atau menyederhanakan prosedur kepelabuhanan, kepabeanan, karantina dan keimigrasian. Negara kita akan kebanjiran oleh karena adanya kedatangan banyak orang Pebisnis, Pelancong/ Turis dan lain-lain dan kita berdasarkan hasil pengamatan di atas itu boleh dikatakan BELUM SIAP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H