Lihat ke Halaman Asli

Jakarta, The Big City

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jakarta The Big City

Oleh : Rudy Gani, Ketua Umum Badko HMI Jabotabeka-Banten

Jakarta seolah direduksi dengan kemacetan, banjir, kesumpekan dan Kota tak bertuan. Padahal, sebagai Ibu Kota Indonesia, Jakarta mampu menjadi kota metropolitan di dunia yang bisa disandingkan dengan New York, Paris, Kuala Lumpur dan Bangkok.

Sayangnya, kemauan untuk itu hanya dimiliki oleh segelintir elit yang kalah karena kerakusan beberapa pihak untuk merampas hak Jakarta sebagai kota yang maju, modern dengan segala atribut di dalamnya. Fenomena ini mengerucut pada pertanyaan besar bagi warga Jakarta. Ditengah derasnya himpitan persoalan ekonomi dan politik nasional, pembangunan kota Jakarta seolah luput dimakan pemberitaan dan agenda nasional yang selama ini penuh sesak di Jakarta.

Ruang publik yang selama ini menjadi masalah besar, mulai dari transportasi publik, pelayanan publik, hak-hak individu publik-seolah tenggelam bersama ombak kencang isu nasional. Jakarta seolah tak menjadi subjek dari pembangunan nasional. Jakarta seolah menjadi Jakarta yang ramai dibicarakan menjelang Pilkada maupun mega korupsinya.

Lalu, dimanakah posisi Jakarta dalam konteks pembangunan nasional? tanda jika Jakarta masih mandeg dalam hal visi pembangunan kota yang modern ialah tidak seriusnya para elit mengurus Jakarta. Keringnya visi pembangunan Jakarta menjadi indikator jika Jakarta tak ingin merubah statusnya dari kota biasa menjadi kota metropolitan modern dan besar di dunia. Konteks modern disini tidak sekedar kecanggihan semata yang bertumpu pada high tech.

Melalui alat teknologi atau persoalan transportasinya. Namun, modern dalam konteks ini ialah bagaimana warga Jakarta, baik yang tinggal/menetap atau menjadi pekerja bersama sepakat menjadikan Jakarta sebagai kota besar yang sejajar dengan kota-kota lain di dunia. Kualitas kesehatan lingkungannya dapat terukur, tidak membahayakan bagi masyarakatnya, ketertiban di dalam ruang publik, di jalan raya, keamanan dan kenyamanan bagi perempuan ketika bepergian-adalah sebagian indikator Jakarta sebagai kota Modern yang sejajar dengan kota lain di dunia.

Untuk menjemput itu semua, tentu saja dibutuhkan kemauan yang kuat terutama dari warga Jakarta itu sendiri. Pemerintah, dalam hal ini Pemda Jakarta hanya memfasilitasi pembangunan yang dianggap dibutuhkan masyarakatnya.

Maka dari itu, secara teoritis, dalam tata kota masyarakat yang tinggal di daerah tersebut harus berpartisipasi aktif menyuarakan berbagai hal yang menjadi kendala yang menghambat pelayanan pemerintah terutamanya pada ruang publik di daerah masing-masing.

Selain menjadi objek, masyarakat juga menjadi subjek untuk dilibatkan sebagai agen pembangunan. Pelibatan ini juga mesti konstitusional. Tidak bisa tambal sulam apalagi hanya sekedar bagi-bagi proyek. Warga Jakarta yang modern dituntut untuk melibatkan diri secara aktif. Artinya, konsep pembangunan yang bottom up dapat dipraktikkan tidak hanya menjadi slogan semata.

Dilihat dari konteks subjek pun maka warga Jakarta mendapat posisi yang strategis. Karena pelibatan warga dalam membangun daerahnya terlihat secara nyata. Tidak sekedar diundang ketika mau melakukan pembangunan, tapi mulai dati tahap pertama hingga terakhir. Disinilah letak modernitas sebuah kota dipuji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline