Lihat ke Halaman Asli

Parpol dan Mafia Minyak

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Parpol dan Mafia Minyak

Oleh: Rudy Gani, Ketua Umum Badko HMI Jabotabeka-Banten

Akhirnya sidang paripurna DPR-RI menyudahi drama politik berjudul Paripurna DPR menyangkut soal BBM yang kemarin sempat memanaskan situasi berbagai daerah di Indonesia. Dengan memilih opsi Pasal 7 ayat 6 A, Parpol mencari titik temu—jika tidak ingin dikatakan ‘main aman’ mendapat umpan bola panas yang dilempar Demokrat dan pemerintahan SBY. Akhirnya, memilih opsi Pasal 7 ayat 6A merupakan alasan tepat dan diapresiasi sebagai win-win solution agar menghindar dari kekisruhan yang bisa terjadi baik kepada masyarakat maupun kepada elit pemerintah utamanya kursi di eksekutif. Bagi kalangan mahasiswa, opsi ini tidak tegas menjawab tuntutan masyarakat yang menolak kenaikan BBM sebagaimana yang selama ini disuarakan oleh beragam kelompok di jalanan. Pilihan opsi pasal 7 Ayat 6A merupakan bentuk sekaligus bukti jika hari ini anggota DPR bukanlah wakil rakyat melainkan kepanjangan tangan partainya. Kepentingan partai lebih utama ketimbang mengedepankan aspirasi masyarakat yang dengan terang berderang menolak kenaikkan BBM. Kemenangan opsi pasal 7 ayat 6a terjadi akibat ketiadaan ketegasan partai untuk menolak usulan pemerintah menaikkan BBM. Seandainya parpol tegas menolak usulan tersebut, maka rakyat dan mahasiswa setidaknya akan aman selama setahun kedepan. Tapi, apa mau dikata, partai tak ubahnya seperti orang yang berwajah dua.

Di depan rakyat memilih bersama-sama memperjuangkan penolakan, namun ketika kepentingan terakomodir dan posisi di pemerintahan menguat, maka janji untuk membela rakyat yang sudah dikatakan menguap dengan mudah karena pragmatisme partai yang cukup parah mengendap di hampir semua parpol saat ini. Akhirnya, drama BBM yang baru saja terjadi hanya menghasilkan dua hal yang bisa menjadi bom waktu. Pertama, rakyat semakin muak melihat partai-partai yang berkuasa saat ini karena partai hanya mementingkan kepentingan mereka dan tidak lagi menjadi sarana politik bagi konstituennya. Bukan baru kali ini saja parpol menunjukkan muka dua nya. Jauh sebelumnya pun juga mereka sudah mempraktikkan gaya berpolitik yang mengedepankan pragmatisme. Misalnya dari kasus Century, Mafia Pajak, BLBI dan terakhir BBM. Berbagai kasus ini mempertontonkan gaya politik partai yang sudah kehilangan perjuangan dasarnya sebagai perwakilan rakyat. Mereka memilih mengkhianati rakyat yang memilihnya. Sehingga wajar jika apatisme politik masyarakat dari tahun ke tahun semakin meninggi melihat akrobatik politik yang monotan dan jauh dari kata keberpihakan. Kedua, pilihan untuk menunda kenaikan bbm merupakan bom waktu yang seharusnya disadari oleh pemerintah, terutama SBY agar ketika pilihan menaikkan bbm benar-benar terjadi, rakyat mendukung kebijakan tersebut. Tidak seperti kemarin, kemarahan rakyat dan mahasiswa memuncak akibat tingginya korupsi di partai SBY sendiri. Kontradiksi itu yang membuat pilihan menaikkan BBM ditolak masyarakat. Belum lagi Presiden baru saja membeli pesawat dengan harga yang fantastis. Maka, tidak disangsikan lagi seandainya kenaikan bbm terjadi kemarin maka people power menjadi kenyataan karena melihat realitas pergerakan yang cukup massif oleh kelompok mahasiswa, buruh, masyarakat dan ormas keagamaan. Ditambah, berbagai kebocoran anggaran negara yang terus menggerogoti kesejahteraan masyarakat meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga, upaya menaikkan bbm dan mengorbankan rakyat tentunya begitu menyakitkan hati rakyat Indonesia jika hal itu dilakukan sekarang.

Mafia Minyak dan Kemandiriaan Energi

Opsi pasal 7 ayat 6a merupakan ancaman dan mimpi buruk yang bisa saja terjadi selama enam bulan kedepan. Karena itu, pemerintah dibantu oleh kalangan mahasiswa, buruh dan masyarakat Indonesia harus mendorong agar ancaman dan mimpi buruk ini tidak lekas menjadi kenyataan. Karena itu, merubah paradigma pemerintah dengan cara menagih janji SBY untuk mewujudkan kemandiriaan energi mesti dilakukan sekarang. Sebab, bahaya naiknya BBM akan terus mengancam APBN kita. Biaya subsidi energi yang harus dianggarkan membutuhkan perhatian khusus karena disatu sisi banyaknya mafia yang bermain di ladang ini. Apakah mungkin negara yang memiliki cadangan SDA terbesar di dunia menanggung biaya besar selayaknya negara-negara yang justru miskin SDA. Mafia minyak baik yang ada di dalam dan luar negri membuat kemandiriaan energi itu menjadi janji utopis SBY sehingga wajar jika membumi hanguskan praktik itu tidak semudah membalikkan telapak tangan dan dilakukan oleh pemerintah saat ini. Padahal, berbagai analisa kebocoran anggaran energi, termasuk dugaan para anggota dewan mensinyalir bahwa mafia minyak di Pertamina, baik yang ada di hulu dan hilir membuat cost produksi minyak kita menjadi naik berlipat-lipat sehingga menyebabkan biaya tinggi. Parahnya, mafia minyak ini sudah bertahun-tahun mengakali produksi minyak Indonesia. Dan sayangnya, bertahun-tahun itupula pemerintah seolah tiada keberanian menindak praktik tersebut yang sesungguhnya sudah diketahui dan berada di depan mata pemerintah dan aparat hukum namun tak ada tindakan dan jeratan sama sekali.

Menyudahi Kepura-puraan

Ditengah sikap pesimis yang ditunjukkan para anggota DPR dan parpol, rakyat berharap agar sandiwara kekuasaan yang dipraktikkan oleh penguasa hari ini segera diakhiri. Sebab, beragam sandiwara itu justru membuat rakyat lelah dengan gaya dan wacana yang tak kunjung memberi kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Karena itu, opsi pasal 7 ayat 6A yang didukung oleh parpol koalisi minus PKS harus dapat dipertanggungjawabkan setidaknya dengan dua komitmen. Pertama, parpol pendukung harus mencari skema untuk mengatasi ancaman krisis energi dengan cara memotong biaya produksi minyak yang banyak dikuasai dan dimainkan oleh mafia minyak. Kedua, Parpol harus menekan SBY agar kemandiriaan energi sebagaimana yang presiden wacanakan diwujudkan setidaknya di masa akhir SBY berkuasa 2014 nanti. Karena itu, dua komitmen itulah yang menjadi wujud jika partai masih memiliki keberpihakan pada rakyat walau terkadang pragmatisme dan kepentingan partainya masih menjadi panglima dalam pemgambilan sikap dan keputusan menghadapi persoalan rakyat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline