Lihat ke Halaman Asli

Rudy Chandra

Menjadi Pribadi yang Aktif & Positif

Menguak Identitas Islam Radikal?

Diperbarui: 29 September 2019   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan Isi Kemerdekaan RI dengan mempertarungkan agama dan negara (oleh: Rudi Candra, Cairo, 21/08/2009)

Pada hari kamis, tanggal 26 September 2019, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengabarkan bahwa akan ada gelombang baru dalam demonstrasi massa yang berusaha menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden. Gelombang baru ini disinyalir ditunggangi oleh kelompok Islam radikal.

Lebih jauh Wiranto tidak menjelaskan siapakah gerangan kelompok Islam radikal tersebut, kelompok ini seolah-olah dimunculkan sebagai upaya pembenaran bagi aparat keamanan untuk berbuat lebih 'represif' kepada pihak demonstran yang dianggap telah membahayakan stabilitas negara.

Tidak adanya definisi yang jelas apa dan siapa sesungguhnya aktor dibalik Islam radikal yang dituduhkan oleh sang menteri, seakan-akan memberikan otoritas bagi siapa saja untuk bebas  menafsirkan apa dan siapa saja kelompok yang dikategorikan sebagai Islam radikal.

Minimnya informasi tambahan terkait apa dan siapakah sesungguhnya aktor yang digambarkan sebagai Islam radikal ini kemudian mendefinisikan dengan instan bahwa yang dimaksud dengan Islam radikal adalah semua kelompok yang beroposisi dengan pemerintahan saat ini.

Penulis sendiri sesungguhnya tidak setuju terminologi Islam radikal digunakan, begitu pula terminologi-terminologi lain yang mengelompokkan Islam dengan kata sifat, yang kemudian  menghilangkan sifat utama dari Islam itu sendiri yaitu rahmatan lil alamin. Seperti "Islam Liberal" misalnya ataupun "Islam Kiri", "Islam Kanan"  dll. Yang akhirnya terminologi ini justru mengaburkan makna Islam sendiri.

Islam yang secara bahasa bermakna damai, harus ter-gradasi jika disandingkan dengan kata "radikal". Dua hal yang bertentangan secara terminologi ataupun epistemologi.

Sayangnya, terminologi yang keliru ini terus menerus diulang sehingga untuk kemudian dianggap lumrah, wajar bahkan benar.

Penggunaan istilah "radikal" mirip dengan terminologi "teroris" yang digunakan Amerika dalam menggambarkan musuh 'fiktif' mereka pasca tragedi 9/11. Persamaannya terletak dari ambiguitas definisi, yang kemudian ditafsirkan multi arti sesuai kepentingan   mereka sendiri.

Permasalahannya kemudian, politik 'sentimen' agama yang digunakan pemerintahan Amerika di era George Walker Bush tidak sesuai dengan geopolitik Indonesia. 

Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan dasar negara Indonesia yang di sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah blunder jika harus mempertentangkan agama dengan negara.

Perbedaan ijtihad politik oleh sebagian kaum muslimin terasa tidak arif jika kemudian pemerintah melancarkan politik 'gebuk nyamuk'. Dalam negara demokrasi perbedaan pilihan politik untuk kemudian terpolarisasi menjadi kalangan pendukung atau oposisi adalah hal yang wajar dan lumrah. Tidak perlu diambil hati dan hanya perlu disikapi dengan kebesaran hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline