Lihat ke Halaman Asli

Rudy Bastam

Menulis untuk mengingat

Memahami The New Normal

Diperbarui: 27 Juni 2020   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash.com

Di suatu pagi yang sejuk di sebuah kota penyangga metropolis di Indonesia, seorang anak laki-laki bangun dari tidurnya. Ia bergegas mandi, mengenakan seragam merah putihnya nya lengkap dengan dasi dan topi. Sementara si ibu menyiapkan perangkat laptop, menyambungkannya dengan koneksi internet rumah. Hari ini dia tak menyiapkan sarapan untuk anaknya. Karena memang puasa baru memasuki hari kedua puluh.

Si anak telah siap, ia bergerak menuju ruang tamu, mencium tangan ibunya lalu duduk di depan laptop. Di balik layar, seorang perempuan paruh baya berkacamata memulai pembicaraan. Kotak-kotak kecil di layar, terpampang beberapa anak-anak lain dengan seragam serupa. Kelas dimulai untuk dua jam ke depan.

Itulah gambaran kehidupan anak sekolah hari ini. Ya memang sejak pertama kali ditemukan kasus virus corona di Indonesia awal Maret 2020. Pemerintah secara perlahan menerapkan kebijakan penyesuaian. Masyarakat pun secara sadar perlahan menerapkan standar kesehatan baru. Di antara nya adalah cuci tangan dan menjaga jarak.

Wabah dan perubahan kebiasaan masyarakat

Desakan kebutuhan untuk menertibkan masyarakat dalam rangka pencegahan virus Covid-19, pemerintah lantas menerapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). 

Kegiatan masyarakat mau tidak mau harus dibatasi. Anak sekolah terpaksa belajar dari rumah, pelayanan masyarakat di kantor-kantor pemerintah dihentikan, pusat keramaian publik seperti mall, bioskop, restoran, dan pasar ditutup. Hingga pemberlakuan jam malam di beberapa daerah. Intinya perpindahan dan kontak antar manusia harus dibatasi.

Kebijakan ini bukan tanpa penolakan. Baru saja diterapkan banyak pihak mengaku menjadi korban. Korban pertama tentu saja jasa pelayanan ojek online. Mereka mengaku pendapatannya berkurang karena tidak diperbolehkan mengangkut penumpang dalam masa PSBB. Pengusaha pusat hiburan di kota metropolis juga ikut merugi. Yang lebih parah adalah pekerja sektor informal yang mengandalkan pemasukan harian juga ikut terdampak.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa dampak ekonomi bukan semata-mata karena penerapan aturan PSBB. Namun juga secara alamiah disebabkan oleh merebaknya virus Covid-19 itu sendiri. Bahkan jauh sebelum PSBB diberlakukan, suatu gerai pakaian ternama di Indonesia terpaksa menutup salah satu outlet di kota besar karena sepi peminat. 

Permintaan yang harusnya meningkat jelang bulan puasa justru sepi. Lagian, masyarakat mungkin menyadari menyadari kalau ternyata membeli masker dan hand sanitizer jauh lebih penting daripada baju dan celana.

Relaksasi PSBB dan New Normal

Keluhan-keluhan masyarakat seperti ini ditangkap dengan baik oleh pemerintah. Terlepas dari segala pertimbangan kesehatan dan ekonomi, 2 Mei lalu, Menkopolhukam, Mahfud MD mewacanakan rencana pemerintah untuk melakukan relaksasi PSBB yang tentunya juga mempertimbangan aspek kesehatan masyarakat. "Relaksasi itu bukan berarti melanggar protokol kesehatan," kata Mahfud MD seperti dikutip dari Detik.

Alih-alih memberlakukan relaksasi, Presiden Joko Widodo justru menyerukan kepada masyarakat untuk "hidup berdamai dengan corona". Dalam sebuah konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jokowi menyatakan "Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan," ujar Presiden seperti dikutip dari Merdeka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline