Pada hari selasa 11 oktober 2016 ,Polisi melakukan operasi tangkap tangan di Kantor Kementerian Perhubungan , Jakarta Pusat. Operasi ini diduga terkait pungutan liar (pungli) perizinan yang dilakukan oknum di kementerian tersebut. Dari lokasi itu, polisi mengamankan enam orang. Keenam orang itu terdiri dari dua orang PNS Kemenhub, satu orang pihak swasta, dan tiga orang lainnya pegawai harian lepas (PHL) Kemenhub.
Dari tangan mereka, polisi menyita uang Rp 34 juta.Dari lantai 12, polisi mendapati uang tunai sebanyak Rp 61 juta. Selain itu, polisi juga menyita enam buku tabungan yang berisi uang Rp 1 miliar dan beberapa dokumen terkait perizinan. Sebuah gerakan yang bagus dan mendapatkan apresiasi dari Presiden Jokowi hingga masyarakat kecuali anggota DPR Fadli Zon.
Kasus pungli ini bukan sebuah modus baru dalam urusan perizinan dan mungkin terjadi hampir di semua departemen kementerian nasional, bahkan urusan vonis hukum ternyata juga bisa dibeli terkait penangkapan panitera pengadilan Jakarta utara Rohadi. Mungkin awalnya beberapa pemohon ingin lebih dipercepat pengurusan izin dan birokrasi yang kemudian oleh beberapa oknum pejabat dijadikan lahan bisnis sehingga muncul motto dalam birokrasi kita "Jika bisa dipersulit buat apa dibuat mudah".
Sepertinya bukan rahasia umum lagi jika Korupsi dan pungli sudah merazalela dari balai sebuah desa hingga gedung parlemen di Ibukota. Bahaya dan akibat dari korupsi dan Pungli sekarang ini sudah mirip dengan bahaya Narkoba, dana bansos yang seharusnya bisa mempermudah dan membantu rakyat miskin tidak pernah sampai ke tangan mereka. Mahalnya bahan pokok makanan sebagai akibat dari sulitnya birokrasi dan perizinan akibat tingginya biaya Pungli yang wajib disetorkan menyebabkan banyak rakyat kurang mampu membeli dan mendapatkan gizi yang baik.
Koruptor sudah mirip dengan pengedar narkoba, mereka memperoleh keuntungan dan memperkaya diri dari kesengsaraan korbannya, semakin kaya mereka berarti banyak rakyat yang semakin miskin ataupun meninggal akibat tidak mendapatkan pertolongan pengobatan dan dana bansos. Saya coba dari contoh dasar dengan pupuk yang langka dimana akibat permainan distribusi dan keterlibatan para oknum pejabat pengawas menjadikan pupuk bersubsidi jatuh ke tangan pengusaha sawit dan perkebunan sementara para petani padi dan tebu kesulitan memperoleh pupuk tersebut sehingga terpaksa membeli pupuk non subsidi agar tanaman mereka tetap bisa tumbuh normal, Alhasil biaya produksi menjadi mahal dan saat panen dibeli oleh para tengkulak dengan harga yg murah karena rendahnya harga pasar akibat permainan para penyelundup yang menggunakan celah import beras dan gula secara illegal.
Bisa dibayangkan produk komoditas kita masih perlu diproteksi pemerintah agar bisa dijual dengan harga yang sesuai agar petani kita tidak merugi, apakah beras dan gula yang kita import dari Vietnam ataupun Thailand dijual rugi oleh petani sana? harga jual murah tersebut sudah termasuk biaya transportasi dan uang suap kepada oknum pejabat pengawas negara kita ini, kok bisa?
Sulitnya Birokrasi menjadi celah permainan para Koruptor yang bukan hanya menyebabkan kerugian negara tetapi membuat harga jual bahan makanan ataupun bahan baku import lain menjadi lebih mahal karena para pedagang perlu memperhitungkan biaya uang suap maupun pungli tersebut sehingga akibatnya tingkat inflasi setiap tahun naik semakin tinggi menyebabkan ketimpangan dan melemahnya ekonomi negara kita.
Melihat bahaya korupsi yang parah ini seharusnya para koruptor ini diperlakukan mirip dengan pengedar narkoba yang dengan batasan tertentu dijatuhi hukuman mati, lebih baik begitu daripada dibilang memenuhin penjara. Kasus OTT sudah sering terjadi termasuk kasus Sanusi , Tetapi sepertinya ada kode etik yang tidak tertulis bahwa siapapun yang korupsi dan tertangkap tangan wajib menerima nasib sialnya dan hukumannya, dilarang untuk menjadi whistle blower.
Kasus bus Transjakarta yang berkarat berakhir hingga Udar Pristono saja, kasus UPS juga hanya berakhir hingga Alex Usman, Aktor intelektual atau biang koruptor kasus tersebut tidak pernah diketahui siapa sebenarnya begitu juga dengan kasus Sanusi sepertinya hanya akan berakhir sampai Sanusi dan Ariesman, berharap mereka jadi whistle blower sepertinya tidak akan terjadi. Kasus Jaringan korupsi reklamasi Sanusi itu jika diibaratkan seperti seekor Gurita maka Sanusi dan Ariesman hanyalah dua tentakel gurita tersebut yang mana jika dipotong tetap tidak akan membunuh gurita tersebut tetapi jika kepala Gurita tersebut yang dipotong maka tamatlah riwayat Gurita tersebut.
Kita setiap hari membaca Polisi menangkap pengedar dengan menyaru sebagai pembeli, trik seperti ini seharusnya juga bisa diterapkan juga untuk menangkap para pelaku Pungli dengan pura-pura menjadi calo ataupun pengusaha yang mau mengurus izin. Semoga saja pihak Kepolisian dan KPK bisa semakin intensif dalam menangkap dan membongkar kasus Korupsi dan Pungli seperti mereka menghandle jaringan Narkoba. Keseriusan Polri ini jika bisa seperti dalam pengungkapan jaringan Narkoba yang sampai menyusupkan anggotanya ke dalam Jaringan tersebut, sehingga tanpa whistle Blower pihak Kepolisian sudah mengetahui tangga kepemimpinan sehingga bisa menangkap pentolan-pentolan atasannya seperti pengungkapan beberapa pabrik-pabrik narkoba baru-baru ini.
OTT di kemenhub ini semoga saja bisa menangkap hingga aktor intelektualnya yang merancang jaringan Pungli ini, bukan hanya bawahan yang sudah bersedia tutup mulut dan terima hukuman saja. Masyarakat sangat berharap jika pentolan-pentolan jaringan Pungli dan Korupsi bisa terungkap dan tertangkap walaupun mereka ini oknum pejabat parlemen atau malahan pimpinan partai politik. Penangkapan di Kemenhub ini menjadi sebuah awal harapan masyarakat Indonesia, semoga saja eksekusinya berlanjut hingga seluruh departemen, sehingga ada secercah harapan bahwa Indonesia akan bebas dari korupsi dan pungli.