Kata-kata toleransi begitu sering kita dengar, tidak saja ketika hari Natal tiba atau hari Idul Fitri dirayakan oleh sebagian besar umat muslim di dunia. Atau ketika penyelenggaraan hari raya Waisak yang dirayakan begitu megah, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kata ini juga begitu sering dengar ketika seremonial berlangsung dengan agenda pertemuan antar pemeluk agama.
Seringkali mereka mengucapkan kata-kata indah soal kerukunan umat dan mengakuan mereka atas keberadaan umat yang lain. Mereka juga sering melakukan diskusi tidak saja di tembat-tempat besar dan penuh dengan peserta diskusi, tapi juga ditempat-tempat besar dan hanya dihadiri oleh sedikit orang.
Mereka juga sering melakukan kegiatan secara bersama-sama. Berolahraga bersama sampai mengadakan kegiatan seperti membuat bazaar dan menerangkan kepada seseorang atau banyak orang tentang apa arti dan manfaat toleransi. Bahwa kita membutuhkan toleransi dan kebersamaan untuk membangun bangsa ini. Toleransi akan menimbulkan kedamaian, dan pembangunan yang baik membutuhkan suasana damai. Alangkah baiknya jika kedamaian berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Sebaliknya dengan intoleransi. Intoleransi penuh dengan caci maki dan saling hujat. Intoleransi sering ditunjukkan oleh umat yang belum matang atau belum sepenuhnya paham dengan ajaran agama mereka sendiri dan menyerang agama lain. Lalu mereka juga mempengaruhi para yuniornya agar punya pandangan seperti mereka. Lalu tak jarang mereka dielu-elukan oleh para yuniornya itu.
Intoleransi adalah pandangan merendahkan terhadap pihak lain dan seringkali merupakan pandangan yang egoistic. Pandangan egoistic hanya peduli dengan dirinya sendiri. Karena hanya peduli pada dirinya sendiri, kacamata yang dipakai adalah kacamatanya maka dia akan mengatakan bahwa keyakinannyalah yang benar.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara besar seperti Indonesia, kita membutuhkan pandangan toleran dari masyarakat. Terlebih karena negara kita punya keberagaman yang kompleks.
Tidak hanya soal etnis, tapi juga menyangkut geografis, bahasa, keyakinan dan sebagainya. Keberagaman ini merupakan pengikat saat pendiri bangsa ini menyatakan kemerdekaannya. Bahwa etnis Jawa, Batak, Madura, Minang dan Papua, lebur menjadi satu.
Begitu juga soal keyakinan; Islam, Kristen, Hindu, Budha dsb, kita tidak bisa menaruh ego kita dalam prioritas bangsa. Jika itu yang terjadi maka sama saja kita menghendaki intoleransi pada negara kita.
Seperti kita tahu intoleransi lebih sering menunjukkan tone negative dan kontraproduktif. Karena itu kita harus selalu akrab dengan toleransi dan membuang jauh sikap intoleran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H