Lihat ke Halaman Asli

Rudi Darma

pemuda senang berkarya

Belajar Soal Iman kepada Nabi Ibrahim

Diperbarui: 9 Agustus 2019   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anda pecinta alam ? Atau setidaknya pernah mendaki gunung ? Mungkin dalam persiapan mendaki gunung atau menjelajah hutan kita dibekali dengan pengetahuan soal climbing, yaitu mendaki dengan menggunakan tali temali , pengikat dan sebagainya. Climbing sangat perlu saat kita mendaki tempat curam dan sulit seperti tebing dari batu atau padas.

Pengetahuan soal climbing ini penting agar sebagai orang yang secara mental ingin mendaki gunung, secara teknis dapat melampaui kesulitan yang mungkin ada saat kita mendaki gunung. Menaklukkan gunung adalah obsesi terbesar bagi orang yang mendaki gunung.

Secara teori, climbing yang menggunakan tali temali sering jadi hal yang sulit bagi pemula. Pasak yang sudah ditancapkan di puncak tebing, tali dan pengikat (carabiner) adalah alat yang sudah memenuhi syarat untuk melakukan climbing. Seharusnya, dengan alat itu kita dapat mencapai puncak dengan mudah.

Seharusnya aman, tapi secara logika kita tidak menanggap itu aman untuk mendaki ke puncak. Carabiner yang sudah mengunci badan kita  dan harness (tempat untuk duduk untuk melakukan climbing) tidak cukup mempu untuk mengatasi kekhawatiran kita saat melakukan climbing.

Akibatnya ketika melakukannya dengan tali temali untuk melampaui tebing, yang terjadi adalah rasa kuatir berlebihan "kalau-kalau" kita jatuh karena kita berada di ketinggian dan nasib kita hanya mengandalkan tali, harness dan karabiner saja. Padahal jika kita "pasrahkan diri" kepada peralatan itu dan membuang rasa kuatir maka kita bisa mencapai puncak gunung dengan baik.

Kekhawatiran berlebihan itu akan terlihat ketika dia menggunakan tali temali saat climbing. Bagian demi bagian yang harus dilampauinya penuh dengan rasa kuatir dan tidak pasrah,  membuat pendaki yang melakukan climbing merasakan bahwa tubuhnya terasa berat ketika mendaki . Semakin kuatir maka semakin berat dan pada suatu titik, kita tak akan sanggup untuk mencapai puncak gunung. Ini sering terjadi pada pendaki pemula sehngga keinginan untuk mendakipun pupus karena rasa kuatir itu.

Sama halnya dnegan keimanan kita kepada Allah. Saat Allah menyuruh Ibrahim menyembelih anak yang dicintainya yaitu Ismail maka yang terjadi adalah Ibrahim menerima dan melaksanakan dengan tulus.  Nabi Ibrahim yakin bahwa perintah yang diterimanya itu jelas dan dia melaksanakan perintah itu dengan membuang rasa kuatir  karena Allah adalah Zat yang dipercayainya.

Lalu Allah menggantikan Ismail dengan domba yang tiba-tiba ada di sekitar mereka. Domba itulah sebagai pengganti Ismail yang akan disembelih oleh sang ayah sekaligus nabi demi perintah Allah. Allah melihat keimanan Ibrahim sehingga dia menyediakan domba itu.

Dalam kehidupan keimanan kita sehari-hari kita seringkali kita sama dengan para pendaki yang penuh dengan rasa kuatir. Kuatir berlebihan inilah yang akan membuat berat dalam melampaui kehidupan. Rasa ego, nafsu berlebih sering mengalahkan rasa pasrah kepada Allah.

Karena itu mungkin kita mulai belajar untuk menyerahkan sepenuhnya nasib kita kepada Allah, seperti halnya para pendaki yang memasrahkan dirinya kepada tali temali ketika melakukan climbing.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline