Lihat ke Halaman Asli

Rudi Santoso

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Dinamika

Value Product Vs Customer Need

Diperbarui: 3 April 2024   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi via Freepik.com

Bicara bisnis kuliner yang unik, nama Rex Marindo sangat lekat dengan makanan. Jaringan bisnis kuliner yang dibangunnya sejak 2014 telah merambah ke kota-kota besar di Indonesia. Bahkan di Bandung dan Jakarta bisnis kuliner yang dibangun di bawah bendera PT. Citarasa Prima Indonesia sudah memasuki babak baru. Bisnisnya sudah merambah Mall besar di Jakarta dan Bandung. Rex Marindo sangat lekat dengan Brand Warunk Upnormal, Bakso Boedjangan, dan Nasi Goreng Mafia. 

Rex Marindo sendiri mengawali bisnisnya di bidang percetakan dan desain. Namun lini bisnis ini mulai beralih ke dunia kuliner pada tahun 2013. Rex mulai membangun bisnis kuliner Nasi Goreng Mafia bersama ketiga rekannya, Danis, Stefan, dan Satria. Modal awal yang dibenamkan pada bisnis ini totalnya adalah Rp120 juta. Dari total tersebut tersebut, Rp60 juta digunakan untuk menyewa tempat selama setahun. Sisanya digunakan untuk renovasi dan operasional.

Satu tahun kemudian atau 2014, Warunk Upnormal di-launching. Keunikan bisnis ini adalah menjual produk-produk ala warung mie instan (Indomie) yang sedang tren di area kampus dan perkantoran dengan nuansa cafe. Kemampuan Rex Marindo membaca situasi paradox merupakan kunci sukses jaringan warunk upnormal. Jika seseorang pergi ke warkop nuansa yang terasa kental adalah warkop-nya. Begitu juga dengan cafe, akan kental Nuansa cafe. Rex "menjual" sisi upnormal dari suasana cafe dengan menu ala warkop. 

Keunikan ini sekaligus menjawab tidak terjebak pada stigma bermain di harga, namun sebuah keunikan. Keunikan yang memberikan pengalaman berbeda dari produk sekelasnya dengan harga yang lebih pantas. Itulah kenapa kuliner ini dinamakan Warunk Upnormal. 

Keunikan yang ditawarkan adalah sajian Mie Instan dengan citarasa yang upnormal atau tidak biasa dan tentu saja disajikan dengan lebih berkelas untuk memikat hati pelanggan. Selain hal tidak biasa, upnormal boleh disebut warung yang menyediakan menu "aneh" dengan harga terjangkau kantong mahasiswa sebagai daya tariknya.

Kejayaan group Warunk Upnormal ternyata tidak bisa bertahan lama. Beberapa orang (bahkan pakar) kemudian meng-kambing hitam-kan pandemi sebagai biang keroknya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi membawa perubahan besar di dunia bisnis kuliner. 

Perubahan besar (disrupsi) perilaku konsumen juga memberikan andil besar terhadap perubahan peta bisnis. Konsumen sudah tidak biasa lagi stay dine in di restoran pasca pandemi. Alih-alih dine in, mereka lebih memilih untuk pesan melalui aplikasi. Selain lebih mudah, konsumen hanya dibebani ongkos kirim. 

Faktor lain yang membuat group bisnis ini akhirnya bangkrut adalah, biaya sewa yang tinggi di setiap gerainya. Hal ini semakin berat ketika arus kas masuk tidak sebanding dengan biaya lainnya. Lebih parah lagi, mereka belum mempunyai pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan SDM untuk memegang bisnis kuliner. 

Selain fakktor teknis tersebut, bisnis kuliner juga tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan dan selera konsumen. Warunk Upnormal gagal menjawab kebutuhan dan selera konsumen dari setiap gerainya di seluruh Indonesia. Salah satu tantangan terberatnya bisnis ini memang beragamnya selera pasar sesuai dengan geografis masing-masing. 

https://www.hops.id

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline