Lihat ke Halaman Asli

Menggugat Arogansi Tenaga Pendidik

Diperbarui: 3 Mei 2016   15:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh:

Rudi Salam Sinulingga

(Speaker, Motivator and Entrepreneur)

Mungkin saja tulisan saya ini akan mendatangkan pro dan kontra di tengah para pembaca? Mengapa demikian? Hal ini dapat dimengerti bahwa  orang-orang yang tidak pernah merasakan pengalaman buruk di dalam proses pendidikannya akan menganggap bahwa tidak ada masalah berat selama dia bergelut di dalam pendidikannya dan tentunya belajar menjadi syarat utama untuk menghindar dari situasi tersebut, sedangkan sebagian orang yang sudah pernah mengalami pengalaman buruk di masa pendidikannya di jenjang perguruan tinggi akan mengerti dan menyetujui apa yang akan saya tuliskan. Sudah lama saya tidak aktif lagi menulis. Di tahun 2013 adalah tahun terakhir saya membuat tulisan dalam bentuk artikel. Semoga tulisan saya yang pertama di tahun 2016 ini menjadi awal untuk menghidupkan kembali semangat saya untuk membuat tulisan-tulisan di masa yang akan datang.

Tulisan saya ini muncul akibat timbulnya berita yang sangat mengejutkan di satu institusi pendidikan Indonesia, terkhusus di provinsi sumatera utara, tepatnya di kota Medan, di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di kota Medan. Tepatnya hari ini, Senin 2 Mei 2016 terjadi peristiwa  di dalam institusi pendidikan. Satu orang dosen dibunuh oleh mahasiswanya sendiri. Menurut informasi, korban pembunuhan tersebut merupakan mantan Dekan di Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Meskipun saya tidak mengetahui persis kronologi dari pembunuhan tersebut, saya mencoca membuat tulisan ini dari berita yang muncul di di berbagai media, termasuk di jejaring sosial. Menurut kabar yang beredar, pembunuhan itu dipicu karena perselisihan antara dosen dan mahasiswa. 

Si mahasiswa tadi meminta kejelasan tentang perkuliahannya, dan dari kabar lain juga disebutkan bahwa perselisihan itu muncul karena berhubungan dengan penyusunan skripsi si mahasiswa sebagai salah satu syarat untuk lulus dari perguruan tinggi. Ketika tidak ditemukan lagi solusi dari permasalah tersebut, maka mahasiswa berpikir dengan membunuh si dosen tadi merupakan jalan satu-satunya untuk meluapkan perasaan jengkel, benci, rasa jenuh dan berbagai alasan lainnya. Pembunuhan itu terjadi di dalam kamar mandi. Setelah membunuh si dosen, si mahasiswa tadi berusaha melarikan diri dari kepungan ribuan mahasiswa dan aparat polisi. Dan menurut informasi yang beredar, si mahasiswa yang sudah membunuh ibu dosen itu harus bersembunyi di dalam kamar mandi karena tidak dapat lagi melarikan diri. Dia mencoba menghindar dari kepungan ribuan mahasiswa. Dan akhirnya setelah kejadian ini si mahasiswa tadi, dan menjadi tersangka pembunuhan harus berurusan dengan hokum.

Kejadian ini merupakan salah satu dari banyaknya kejadian yang dialami oleh peserta didik dalam proses pendidikan mereka. Ada banyak lagi kasus lain yang sering kali terjadi di dalam institusi pendidikan yang seharunya menjadi institusi yang menghasilkan lulusan yang kreatif, inovatif dan berkarakter. Tentunya di dalam institusi pendidikan akan kita lihat banyaknya karakter yang bermunculan di tengah peserta didik dan juga tenaga pendidik. Untuk itu kita sangat diharapkan untuk mampu memahami setiap karakteristik tersebut.

Berbagai macam kasus dapat ditemukan di dalam institusi pendidikan. Satu persatu akan saya uraikan dalam contoh konkrit berikut ini. Ada saatnya kita dapat melihat sosok tenaga pendidik yang merasa bangga jika semua peserta didiknya gagal dalam mata kuliah yang diampunya. Dalam satu kelas, dapat kita temukan bahwa hampir semua mahasiswa di dalamnya gagal dalam mata kuliah yang diajarkan oleh si tenaga pendidik tadi. Seharunya si tenaga pendidik tadi harus mengkoreksi diri, mencoba berpikir kembali., mengintrospeksi diri, dimanakah terletak kesalahan tersebut. Jika sebagian besar dari peserta didik tadi gagal di mata kuliah yang diajarkan oleh si tenaga pendidik tadi, maka di dalam teori pendidikan, yang salah itu bukan si mahasiswanya, melainkan si tenaga pendidik yang tidak mampu mengajarkan materi dengan baik kepada peserta didik. Dengan situasi seperti ini, si tenaga pendidik bukan justru berbangga diri jika hampir semua peserta didik yang dididiknya gagal di mata kuliah yang diampunya.

Contoh konkrit berikutnya adalah ketika si tenaga pendidik menganggap dirinya sebagai orang yang super penting di masa pembimbingan skripsi di tengah peserta didiknya. Seringkali peserta didik harus mengalami kekecewaan ketika dosen pembimbingnya mempermainkan mereka. Mereka harus berusaha menjumpai si dosen pembimbingnya, meskipun harus melewati lintas kampus, maklumlah si dosen tadi termasuk dosen yang mempunyai jam terbang yang tinggi dari kampus A, ke kampus B, ke kampus C dan ke kampus lainnya (?). Proses bimbingan skripsi si mahasiswa seringkali terganjal karena si dosen pembimbing tadi tidak ada di tempat. 

Mahasiswa yang sedang bimbingan mau tak mau harus mengejar si dosen di mana pun dia berada. Mahasiswa harus mencoba menjumpai si dosen pembimbing di kampus A, B, C atau D, di tempat tertentu, atau di rumahnya. Ini dapat dipahami bahwa mahasiswa yang sedang bimbingan harus mengharapkan masukan demi penyusunan skripsinya dan demi menyelesaikan studinya sesuai dengan target yang sudah dibuat. Di masa-masa ini dosen pembimbing tadi seperti primadona yang harus dikejar-kejar, menganggap dirinya yang terpenting dan harus mendapatkan perhatian luar biasa dari mahasiswa bimbingannya. Tak jarang di masa pembimbingan skripsi, mahasiswa yang memiliki kemampuan akademis pas-pasan menjadi korban empuk dari dosen yang arogan tersebut.

Tidak jarang juga ditemukan di kejadian-kejadian aneh di masa pembimbingan skripsi, si mahasiswa yang dapat dijadikan korban empuk, mereka dijadikan sebagai mesin ATM berjalan dari dosen arogan tersebut. Mahasiswa seringkali diminta membawa makanan, minuman dan jenis makanan tersebut harus sesuai dengan permintaan si dosen tadi. Pernah juga saya dengarkan cerita dari seorang mahasiswa yang sedang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Medan ini, dan pada masa bimbingan skrispsi dia harus merogoh kocek dengan nilai nominal kepada dosen pembimbingnya untuk membeli makanan dan minuman sesuai selera si dosen dan untuk membeli tiket pesawat si dosen tadi untuk penerbangan dari Medan ke Jakarta dan dari Jakarta ke Medan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline